Senin 14 Aug 2017 20:31 WIB

Fahri Hamzah: Waspadai Pola Konsumerisme Lewat E-Commerce

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah (kiri).
Foto: ROL/Abdul Kodir
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Geliat di sektor ekonomi digital mengalami perkembangan cukup pesat. Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan pola konsumerisme baru yang muncul lewat e-commerce ini layak diwaspadai.

"Ada lifestyle baru dalam cara mengonsumsi. Jangan sampai ini mendorong konsumerisme, artinya karena banyak pemasaran dengan berbagai cara masuk ke ruang-ruang kita, lalu kemudian cara mengonsumsi itu aneh-aneh," kata Fahri Hamzah di Gedung DPR RI, Senin (14/8).

Akibat pola ini, Fahri mengkhawatirkan, orang mengonsumsi hal-hal yang efeknya memunculkan sikap egois dan tidak menimbulkan geliat perekonomian rakyat. Misalnya, orang berbelanja online untuk membeli makanan yang diproduksi oleh konglomerasi, atau fast food impor. 

Dengan demikian, orang tidak lagi pergi ke warung makan. Akhirnya, lanjut Fahri, warung yang milik rakyatnya justru mati. 

Atau, seseorang bisa menghabiskan uang dua kali lipat untuk membeli makanan yang sama, dibandingkan membeli di warung karena konsumsi dilakukan secara online. "Ini kan tren yang kurang bagus. Ini kita sebut sebagai konsumerisme, konsumerisme yang selfish dan hedonis tapi efeknya kepada bergeraknya sektor industri kita itu melemah," kata Fahri. 

Menurut Fahri, kondisi ini harus diantisipasi dengan memperbaiki struktur ekonomi digital tersebut.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio, mengatakan rata-rata pendapatan masyarakat tidak berubah, bahkan terbaca mengalami peningkatan. Tingkat inflasi juga rendah. Yang menjadi pertanyaan, saat bersamaan muncul isu penurunan daya beli.

Tito mengkhawatirkan menguatnya pola konsumerisme. Yang dimaksud konsumerisme, ia menjelaskan, adalah ketika seseorang mengonsumsi sesuatu yang melebihi kemampuannya. Dengan Rp 40 ribu, dulu seseorang bisa membeli ayam untuk keluarga. Kini, dengan Rp 40 ribu orang hanya bisa makan ayam berdua dengan temannya.

"Ada satu perubahan gaya hidup, perubahan eating habit. Orang dulu kerja jam 2 sudah pulang makan siang di rumah, tidur siang, makan malam. Sekarang tidak ada pilihan selain makan siang di luar, makan malam di luar," kata Tito.

Menurut Tito, negara harus hadir untuk mengatasi perilaku konsumerisme ini lewat kebijakan-kebijakannya. Ia juga melihat pada kelas 40 persen ke bawah ada penurunan konsumsi. Sementara, pada kelas 40 persen ke atas terjadi peningkatan konsumsi. Hal ini dikhawatirkan berdampak akan pada naiknya angka gini ratio. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement