REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah membenahi persoalan backlog atau ketimpangan akses perumahan yang masih tinggi. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat, backlog paling parah di Jabodetabek.
Ketua Kadin Eddy Ganefo mengungkapkan, semua hambatan di sektor properti, mulai perizinan, akses kredit, hingga kemudahan pembelian perumahan harus dipermudah. Tujuannya, kata dia, agar proyek satu juta rumah yang dicanangkan pemerintah bisa maksimal, sehingga jangan sampai ada temuan masalah seperti perizinan hingga pembebasan lahan yang memakan waktu lama tak kunjung beres.
"Hambatan makin banyak disaat ekonomi masih lesu ini berdampak ke bisnis perumahan. Jadi semua hambatan harus dibuka, segera diselesaikan," ujar Eddy, dalam keterangannya, Senin (7/8).
Salah satu solusinya, menurut Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) itu, jangan sampai anggaran program rumah yang sedang dikembangkan pemerintah, dari sisi subsidi, terus dipangkas alias menyusut. Alhasil, masyarakat kecil yang belum memiliki rumah juga makin sulit mengakses.
Pemerintah diketahui memangkas anggaran subsidi yang disalurkan melalui mekanisme Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP), yaitu dari Rp 9,7 triliun menjadi Rp 3,1 triliun. Di sisi lain, kata Eddy, kebijakan rumah, juga harus di dukung regulasi dan penegakan hukum yang kuat agar penyediaan rumah murah berjalan dengan baik.
"Yang tadinya untuk membantu dan mensejahterakan rakyat, jangan sampai malah sebaliknya, memberatkan, sehingga bisa jadi alternatif jangka panjang membantu masyarakat berpenghasilan rendah memilki rumah," tegas dia.
Pemerintah pun, dalam meminimalkan backlog, bisa melihat berbagai terobosan-terobosan inovatif di sektor properti. Ada banyak model teknologi baru yang bisa diadopsi. Seperti rumah kayu dengan teknologi tinggi, tahan gempa, antiair, dan dari sisi harga jauh lebih murah.
Ini artinya, solusi yang tepat dan memadai tidak hanya mencakup penyediaan sejumlah rumah berkualitas terjangkau, namun juga keberlanjutan jangka panjang dengan cara yang ramah lingkungan. Sistem bangunan yang menggunakan bahan bangunan kayu rekayasa tahan api dinilai dapat memenuhi kebutuhan perumahan yang terjangkau dengan cara yang ramah lingkungan, hemat biaya dan efisien (cepat).
Mengutip Laporan McKinsey Global Institute (MGI) paling baru, saat ini 330 juta rumah tangga perkotaan di seluruh dunia tinggal di perumahan di bawah standar. Sementara sekitar 200 juta rumah tangga di negara berkembang tinggal di daerah kumuh.
MGI memperkirakan pada 2025 mendatang, sekitar 440 juta rumah tangga perkotaan di seluruh dunia -sekitar 1,6 miliar orang- akan menempati perumahan yang tidak memadai, tidak aman, karena tidak punya akses finansial. Agar prediksi MGI tak terjadi, berbagai terobosan teknologi properti harus diadopsi. Misal menggunakan produk kayu kimia tahan api non-polusi dalam bahan bangunan rumah kayu menjamin keamanan rumah yang dibangun, baik tunggal maupun multi-lantai.
Penggunaan kayu rekayasa ini juga sangat pas dengan melimpahnya pasokan kayu di Hutan Tanaman Industri. Belum lagi hutan tanaman yang ditanam kembali akan menghasilkan sumber daya kayu berkelanjutan yang terus tumbuh setiap tahunnya yang pada akhirnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang terus tumbuh.
Hitungan McKinsey Global Institute, rumah yang terbuat dari kayu rekayasa jauh lebih murah daripada rumah beton dan bata dengan ukuran yang sama. Biasanya, harga akan setidaknya sekitar 30 persen lebih murah, menyadari efisiensi skala, pembuatan dan produksi otomatis, biaya pondasi lebih murah, konstruksi yang cepat dan biaya pembiayaan yang jauh lebih murah.
Selain tahan api, bahan juga tahan air, tahan cuaca, tahan rayap, shock-proof dan load-bearing. Karena komponen rumah kayu yang direkayasa seperti dinding, pintu, atap dan lantai akan diproduksi sepenuhnya di pabrik dan disatukan di lokasi, memungkinkan membangun rumah dengan cepat, efisien dan dengan kualitas yang konsisten.