Senin 07 Aug 2017 22:03 WIB

Tarif Listrik Indonesia Lebih Mahal dari Malaysia

Petugas PLN sedang melakukan perbaikan kabel listrik
Foto: dok PLN
Petugas PLN sedang melakukan perbaikan kabel listrik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengungkapkan tarif listrik Indonesia sampai sekarang lebih mahal dibanding negeri jiran, Malaysia. "Tarif listrik di Indonesia relatif mahal bila dibanding Malaysia karena dalam pemakaian tertentu hanya Rp 650 per kWh. Di sana tidak berdasarkan golongan tapi berdasarkan batas pemakaian. Di kita untuk pemakaian 900 VA sudah lebih Rp 1.300 per kWh. Ini sangat memberatkan masyarakat," kata Ketua serikat Pekerja PLN, Jumadis Abdan kepada pers di Jakarta, Senin (7/8).

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dan PT PLN (Persero) mampu melakukan efisiensi untuk menekan tarif listrik semurah mungkin. Dia memperkirakan sampai saat ini ada sekitar Rp 60 triliun beban yang ditanggung PLN akibat kesalahan dalam penyelenggaraan sistem kelistrikan nasional.

"Setidaknya ada tiga faktor yang membuat tarif listrik menjadi lebih mahal yaitu harga dan jenis energi primer, pola operasi dan biaya pemeliharaan," katanya.

Mengenai energi primer saat ini, lanjut dia, sebanyak delapan persen bauran energi primer terdiri atas BBM dan ini menelan biaya yang lebih besar dibanding penggunaan gas. Sedangkan di negara tetangga hampir 50 persen energi primer mereka terdiri atas bauran gas dan harga gas lebih murah dibanding yang didapat PLN. Sehingga pembangkit mereka mampu menyediakan listrik murah.

"Hampir 50 persen di Malaysia menggunakan gas alam, sementara Indonesia baru 25 persen. Harga gasnya juga lebih murah sekitar 4,6 dolar AS per MMBTU, sedangkan di PLN hampir dua kali lipat harganya," katanya.

Jika hal itu dikonversi ke rupiah, maka inefisiensinya bisa mencapai Rp 25 triliun. "Nah kalau harga gas ini bisa diturunkan sekitar 5 dolar AS per MBBTU untuk PLN, maka PLN bisa menghemat BPP mencapai Rp 2 triliun. Maka tidak perlu menaikkan harga listrik, bahkan bisa turun," ujarnya.

Kemudian terkait pola operasi, dia mengatakan, dengan kehadirannya listrik swasta (IPP) menggunakan regulasi take or pay maka hal ini juga menjadi beban bagi PLN. Terkadang meskipun tersedia produksi dari pembangkit PLN, tetap yang diutamakan listrik produksi swasta.

"Kita minta kalaupun listrik swasta hadir, harus sesuai dengan UU No 30 Tahun 2009 pasal 4. Mereka itu hanya berpartisipasi dan tidak dominan, kalau kita mengatakan idealnya maksimal 20 persen komposisi listrik swasta dalam kelistrikan kita," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement