REPUBLIKA.CO.ID, COLOMBO -- Kekhawatiran warga lokal Sri Lanka terhadap utang yang diberikan oleh Cina sebetulnya bukan tercetus baru-baru ini. Seperti diberitakan BBC pada Mei lalu, mereka bahkan merasa negaranya telah dijual ke Cina.
Hal itu terkait proyek pembangunan infrastruktur pelabuhan besar-besaran Hambantota di selatan Sri Lanka yang dibiayai oleh utang Beijing.
Kini kekhawatiran itu jadi kenyataan. Sri Lanka tak mampu mengembalikan utang pembangunan pelabuhan yang mencapai biaya lebih dari 1 miliar dolar AS.
Otoritas Pelabuhan Sri Lanka akhirnya sepakat menjual 70 persen sahamnya di Pelabuhan Hambantota ke China Merchants Ports Holdings. "Kami ingin menunjukkan kepada dunia, kami menentang proyek ini," ujar KP Indrani, aktivis yang juga warga lokal pada Mei.
Seorang nelayan lokal tak ingin tanah mereka diambil alih Cina. "Kami tak ingin tanah kami diberikan ke Cina," ujar Aruna Roshantha. "Tidak hanya Cina, jika negara lain datang dan mengambil tanah Sri Lanka, kami tak suka. Pemerintah harus melindungi tanah kami, bukan menjualnya."
Para aktivis dan warga lokal berulangkali menggelar protes untuk menentang rencana pembangunan tersebut. Sementara polisi menggunakan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan para demonstran. Tak jarang para pengunjuk rasa harus dipenjara selama beberapa pekan.
"Kami tak menentang pembangunan, tapi apa yang mereka lakukan tak akan bermanfaat buat kami," ujar Indrani,.
Total utang Sri Lanka telah mencapai 64 miliar dolar AS. Adapun 95 persen pendapatan pemerintah dipakai untuk bayar utang. Dan ketika utang itu dipakai untuk pembangunan infrastruktur yang tak menuai profit, Sri Lanka semakin terpukul.
Baca juga, Tak Bisa Bayar Utang, Sri Lanka Lepas Pelabuhan ke Cina.