Jumat 14 Oct 2022 21:41 WIB

Pengamat: RI Harus Hati-Hati dengan Utang China

Jebakan utang China yang membebani negara-negara Afrika disebut sebagai disinformasi

Sejumlah pekerja beraktivitas di lokasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Bekasi, Jawa Barat, Jumat, (3/4/2020). Menurut Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) Chandra Dwiputra proyek pembangunan fisik kereta cepat sudah mencapai 42 persen dan proses pembebasan lahan telah mencapai 99,95 persen
Foto: ANTARA FOTO
Sejumlah pekerja beraktivitas di lokasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Bekasi, Jawa Barat, Jumat, (3/4/2020). Menurut Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) Chandra Dwiputra proyek pembangunan fisik kereta cepat sudah mencapai 42 persen dan proses pembebasan lahan telah mencapai 99,95 persen

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta pemerintah Indonesia untuk mewaspadai jebakan utang China di tengah fenomena ekonomi Beijing yang terjebak sendiri akibat gencar memberi utang kepada negara dunia.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan dari informasi yang mereka terima, rancangan China untuk menjamin proyek-proyek yang diinvestasikannya pada negara-negara berkembang ini, gagal. Proyek-proyek tersebut pun dinilai telah ditangguhkan atau tidak memiliki nilai komersial.

“Pelabuhan Gwadar di Pakistan belum selesai dibangun dari utang China dan selama dua tahun terakhir, pemerintah Pakistan juga belum bisa membayar iuran untuk proyek pembangkit listrik karena bunga hutang China yang terlampau besar,” kata AB Solissa lewat keterangan tertulis, Jum’at (14/10/2022).

AB Solissa juga menyebut proyek lainnya seperti Bandara internasional di Zambia, Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan Kota Pelabuhan Kolombo yang dibangun dari utang China namun tidak layak dan tidak memiliki nilai komersial. “Naasnya, negara-negara yang berutang  mencoba mengajukan beberapa permintaan untuk restrukturisasi utang yang sayangnya, langsung ditolak China,” tutur dia.

Menurut AB Solissa, China saat ini mengancam Pakistan untuk menutup pembangkit listrik mereka kecuali pembayaran dilakukan di muka. Mereka pun menuduh pembayaran belum dilakukan untuk listrik yang sudah digunakan oleh rakyat Pakistan.

Selain itu, banyak negara Afrika telah menyuarakan keprihatinan mereka atas pinjaman BRI yang tidak berkelanjutan.  Zambia telah membatalkan pinjaman luar negerinya yang sebagian besar merupakan pinjaman China untuk berhenti memperparah tekanan utangnya.  Artinya 14 proyek di bawah BRI ditarik.

 

photo
Jembatan persahabatan China dan Bangladesh - (Xinhua)

 

Menurut sebuah studi Observer Research Foundation, kredit Cina mencapai lebih dari seperempat dari total kredit eksternal negara-negara Afrika dengan tekanan utang yang tinggi.  Total kredit China ke negara-negara di benua Afrika diperkirakan melebihi USD 140 miliar.  Di antara negara-negara penerima utama kredit China adalah Angola, Ethiopia, Kenya, Republik Kongo, Zambia dan Kamerun.

“Kebijakan jebakan utang China BRI (Belt and Road Inisiatif) sering dikritik dimana China menggunakan cara ini untuk menginstalasi objek vital dan pos-pos militernya di negara yang memiliki hutang dengan Tiongkok,” jelas AB Solissa.

Di bawah BRI, China menggelontorkan lebih dari USD 1 triliun sebagai pinjaman ke hampir 150 negara berkembang dan kurang berkembang dengan tingkat bunga tinggi, sehingga Beijing menjadi negara kreditur resmi terbesar di dunia untuk pertama kalinya. Negara-negara seperti Pakistan dan Sri Lanka adalah contoh negara yang situasi dan kondisi negerinya, sangat mengkhawatirkan keberlangsungan jalannya hubungan utang-piutang bagi China.   

Sementara itu, menurut laporan Wall Street Journal, setelah hampir satu dekade menekan bank-bank China untuk bermurah hati memberikan keringangan kredit, Beijing yang saat ini fokus dengan program Belt and Road 2.0 tiba-tiba menjadi terbuka untuk menerima beberapa kerugian kredit. Beijing bahkan menegosiasikan kembali utang kepada negara-negara tertentu.

“Kami mensinyalir China tengah mendorong komunitas internasional untuk menyetujui Belt and Road, salah satu jalan untuk ambisi Xi Jinping menguasai dunia,” jelas AB Solissa.

photo
Pekerja menyelesaikan pembangunan Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Tegalluar, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (1/10/2022). PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat progres pembangunan dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah mencapai 86 persen. - (ANTARA/Aprillio Akbar)

 

Sementara itu, dilansir dari Chinadaily, wacana jebakan utang China yang membebani negara-negara Afrika disebut sebagai disinformasi murni. Duta Besar China untuk Kenya Zhou Pingilan dalam sebuah artikel yang diterbitkan di sebuah surat kabar Kenya,  The Star, menjelaskan, tidak ada satu pun negara berkembang yang jatuh ke dalam apa yang disebut jebakan utang karena pinjaman China. 

"Kenya misalnya berutang kurang dari 10 persen dari utang publiknya, dan kurang dari 20 persen utang luar negerinya kepada kreditur China," kata Zhou. "Semua pinjaman dari China ke Kenya adalah proyek khusus berdasarkan konsultasi setara dan kerja sama yang saling menguntungkan. Hasil yang bermanfaat dan nyata dari kerja sama kami solid di sana untuk dilihat semua orang,"lanjut dia.

Dia mengatakan tidak ada negara di Afrika yang mengalami tekanan utang atau terpaksa menggadaikan pelabuhan, tambang, atau sumber daya strategis lainnya ke China hanya karena telah menandatangani kerjasama pembiayaan dengan mitra pembangunan.“Menodai transparansi kerja sama China-Afrika merupakan penghinaan terhadap pemerintahan negara-negara Afrika dan kebijaksanaan rakyat Afrika. Upaya seperti itu, saya khawatir, didorong oleh niat yang paling tidak transparan,” kata Zhou.

Tim Jones, kepala kebijakan di Debt Justice, mengatakan para pemimpin Barat menyalahkan China atas krisis utang di Afrika. Padahal, bank, manajer aset, dan pedagang minyak mereka sendiri jauh lebih bertanggung jawab, tetapi negara-negara G-7 membiarkan mereka lolos. "Tidak ada solusi utang yang efektif tanpa keterlibatan pemberi pinjaman swasta. Inggris dan AS harus memperkenalkan undang-undang untuk memaksa pemberi pinjaman swasta untuk mengambil bagian dalam penghapusan utang."

Zhou mengatakan China benar-benar berkomitmen untuk mendukung pembangunan dan revitalisasi Afrika, dan selalu berdedikasi untuk mengurangi tekanan utang Afrika.

http://global.chinadaily.com.cn/a/202207/18/WS62d55a2ea310fd2b29e6d002.html

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement