Selasa 25 Jul 2017 17:17 WIB

Ketika Stok Kosong, Produsen Garam Konsumsi Menjerit

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Pekerja melakukan proses penggaraman ikan asin di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (25/7).
Foto: Antara/Harviyan Perdana Putra
Pekerja melakukan proses penggaraman ikan asin di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (25/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Kabar kosongnya stok garam rakyat, sudah berhembus dua bulan terakhir. Pemerintah pun didesak segera mengambil langkah untuk mengatasi krisis garam di Indonesi yang semakin memperihatinkan. Karena, di hampir seluruh daerah penghasil garam, ketersediaan garam langka akibat gagal panen di 2016 dan 2017 ini.

Apalagi, garam yang langka, tak hanya membuat banyak industri gulung tikar. Namun, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara, garam yang dikonsumsi masyarakat pun terancam langka akibat banyak produsen garam konsumsi yang kolaps tak bisa berproduksi karena kehabisan bahan baku.

"Saat ini banyak produsen garam konsumsi yang gulung tikar akibat tidak adanya garam sebagai bahan baku. Sehingga, terjadi perumahan karyawan di mana-mana," ujar Cucu di Bandung, Senin (24/7).

Sebagai contoh, kata dia, di Gresik Jawa Timur terdapat lima industri yang harus mengurangi karyawan akibat tidak adanya bahan baku tersebut. Kondisi serupa, terjadi di Jawa Tengah. "Berapa ribu orang menganggur akibat enggak ada garam," katanya.

Padahal, kata dia, berdasarkan data yang ada konsumsi garam di Indonesia per tahunnya sebanyak 3 kg perorang. Jadi, diperkirakan sebanyak 780 ribu ton garam langsung dimakan pertahunnya. "Krisis garam ini, membuat garam untuk industri dan konsumsi berebut," katanya.

Cucu pun, meminta pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk mengatasi persoalan ini. Terlebih, harga garam di pasaran saat ini harganya naik hingga 10 kali lipat.

"Itu juga memberatkan bagi industri, bagaimana mau bersaing dengan produk luar," katanya.

Cucu mengakui, saat ini, pemerintah akan mengimpor garam untuk kebutuhan industri. Namun, jumlahnya tetap belum bisa memenuhi semua kebutuhan dalam negeri. "Itu juga nanti bulan depan katanya," kata Cucu.

Pihaknya berharap, garam yang didatangkan dari luar negeri ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan industri, melainkan juga harus mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Pasalnya, masyarakat umumpun sangat membutuhkan kehadiran garam tersebut. "Untuk dikonsumsi. Sekarang di pasar-pasar enggak ada garam," katanga.

Cucu mengatakan,  berdasarkan data badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kalau masyarakat enggak mengonsumsi garam, bisa kekurangan yodium. "Jadi garam ini bukan hanya untuk bisnis (industri), tapi juga untuk kesehatan masyarakat. Kalau kurang yodium bisa pendek, cebol, IQ jongkok," katanya.

Di tempat yang sama, Produsen Garam Konsumsi dari CV Keluarga Gersik Jatim, Subhan, hampir semua produsen garam beryodium di Jatim Januari sudah tutup. Karena, tak ada bahan baku yang biasanya disuplai dari Madura.

"Sejak awal 2017 kami susah dapat bahan baku jadi produksi tutup. Saya sudab 27 tahun main garam belum pernah terjadi seperti ini," katanya.

Padahal, kata dia, pada tahun 1997 dan 2010 petani garam pun pernah gagal panen karena kemaraunya pendek. Tapi, impor langsung masuk untuk menutupi kekurangan jadi produsen garam konsumsin masih bisa berproduksi.

"Tahun ini, sampai kehabisan sama sekali," kata Subhan seraya mengatakan, ada enam perusahaan garam yang besar di wilayahnya yang juga kehabisan bahan baku.

Sementara menurut pelaku usaha yang menggunakan garam, Agus Sutikno, pemerintah saat ini membedakan kualitas garam yang beredar di dalam negeri. Untuk kebutuhan industri, pemerintah hanya mengizinkan garam dengan kadar NACL di atas 97, sedangkan untuk kebutuhan konsumsi NACL-nya di bawah 97.

Hal ini,  sangat tidak baik bagi masyarakat maupun pelaku industri. "Kami (industri) deg-degan, karena setiap datang impor garam, apakah ini untuk industri (NACL di atas 97) atau untuk konsumsi (NACL di bawah 97)," katanya.

Selain itu, hal ini pun merugikan masyarakat karena hanya mengonsumsi garam dengan kualitas yang tidak maksimal. Seharusnya, masyarakat lah yang memperoleh garam dengan kualitas terbaik. "Sekarang ini masyarakat mengonsumsi garam yang kualitas tidak maksimal (NACL di bawah 94)," katanya.

Agus mengatakan, petani garam tidak perlu khawatir jika pemerintah jadi mengimpor garam. Sebab, harga garam impor di atas harga eceran garam lokal yang ditetapkan pemerintah. Harga garam impor dengan NACL di atas 97 berkisar Rp 1.000 per kilogramnya. Sedangkan harga garam lokal yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp450 per kilogram untuk K3, Rp 550 per kilogram untuk K3, dan Rp 750 per kilogram untuk K1.

"Jadi petani enggak usah khawatir harga garamnya akan jatuh, kan pemerintah sudah menetapkan harganya. Dan garam impor itu harganya di atas garam lokal, karena kualitasnya berbeda," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement