REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menanggapi berbagai simpang-siur pemberitaan mengenai Penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi, Dr Ana Astrid menegaskan tidak ada kebohongan publik. Yang dimaksud beras memperoleh subsidi adalah dalam memproduksi beras tersebut, ada subsidi input yaitu subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun.
Bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari Pemerintah yang besarnya triliunan juga. "Di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumah tangga sasaran (pra sejahtera) sekitar Rp 19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui Bulog, dan tidak diperjual-belikan di pasar," jelas Ana di Jakarta, Sabtu (22/7).
Padi varietas IR64 merupakan salah satu benih dari Varietas Unggul Baru (VUB), di antara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya. VUB ini total digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektare per tahun.
“Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB-nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya” ungkap Ana.
Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan "IR 64" baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggu baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya yang sebagian petani menyebut benih jenis IR.
“Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700 per kilogram gabah," terang Ana.
Oleh karena itu, menurut Ana, perusahaan tersebut membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama. Selanjutnya dengan prosessing atau diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi.
Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi. Marjin yang diperoleh perusahaan tinggi bisa 100 persen. Perusahaan memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi.
"Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani dengan harga yang sama dan diproses menjadi beras medium dengan harga normal medium," tegasnya.
Lebih lanjut Ana menegaskan negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati. Produk dari petani diolah oleh perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan wajar antarpelaku.
"Hitungan kerugianya seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000 per kg dan harga premium di konsumen sampai Rp 20 ribu per kg. Jika diasumsikan selisih harga ini minimal Rp 10.000 per kg dengan pengalian beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir Rp 10 triliun," paparnya.
Terkait kebijakan HET yang dikatakan mendadak, Ana mengatakan harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak mendadak, sejak tahun lalu sudah diterbitkan HET. Pada 2016 sudah diterbitkan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300 per kg dan di konsumen Rp 9.500 per kg.
Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300 per kg dan di konsumen Rp 9.000 per kg. "Harga beras rerata sekarang Rp 10.500 per kilogram itu kan tinggi, karena terbentuk dari adanya beras yang dijual tinggi selama ini," pintanya.
Untuk diketahui harga acuan sudah mempertimbangkan kelayakan usaha tani, biaya distribusi dan keuntungan wajar bagi setiap pelaku. Proses perhitungan harga acuan sudah dibahas bersama para pihak, petani, pedagang, asosiasi dan lainnya.
Selanjutnya menanggapi masalah kandungan gizi, Ana menuturkan, kandungan gizi dan angka kecukupan gizi, tidak memiliki pemahaman yang berbeda. Pasalnya, kandungan gizi beras adalah banyaknya gizi yang ada di dalam beras, sedangkan angka kecukupan gizi adalah jumlah harian besarnya zat gizi rata rata yang diperlukan orang dewasa untuk dapat beraktivitas secara normal.
"Jadi kalau ingin masyarakat beraktivitas normal, maka kandungan gizi yang dikonsumsi harus sama dengan kecukupan gizi," jelasnya.
Berkaitan pemberitaan mengenai besarnya beras disimpan gudang perusahaan, Ana menegaskan bahwa jumlah dan kapasitas gudang di Indonesia sudah didata oleh Pemerintah. KPPU dan Satgas Pangan juga sudah mempunyai data tersebut dan memonitor perederan beras dari sentra produksi ke konsumen secara harian.
“Jadi masyarakat jangan terkecoh dengan isu lain, karena intinya adalah ada pembagian keuntungan tidak adil antar petani, middleman, konsumen seperti dikeluhkan sejak lama. Saat ini Satgas Pangan sedang bekerja, jadi ya wajar bila ada yang terganggu bisnisnya”, pungkas Ana.