REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, Indonesia memerlukan 800 pelaku financial technology (Fintech), supaya masyarakat dari Sabang hingga Merauke bisa mengakses layanan keuangan. Sekarang, kata Hendrikus, baru sekitar 165 Fintech yang beroperasi.
Sedangkan yang terdaftar resmi di OJK baru lima perusahaan Fintech yakni di antaranya Modalku dan Investree.
Dengan kondisi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyambut baik semua inovasi yang dilakukan para pelaku Fintech,, termasuk aplikasi mobile Modalku yang baru saja diluncurkan.
"Teknologi ini akan semakin meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air. Hal itu juga mendukung perkembangan cashless society," ujar Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi, di Jakarta, Rabu (19/7).
Menurutnya, aplikasi tersebut sejalan dengan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menunjukkan sekitar 73 persen dari lalu lintas internet Indonesia kini bersumber dari smartphone serta tablet. Dengan demikian, aplikasi Modalku dapat memperluas akses masyarakat untuk memberikan pinjaman atau peer to peer (P2P) lending ke Pelaku Usaha Berkebutuhan Khusus (Puberku). "Di antaranya seperti pelaku UKM di Indonesia yang masih sulit mendapatkan pembiayaan dari perbankan," kata Hendrikus.
Ia mengungkapkan tugas OJK adalah memastikan Fintech memiliki teknologi manajemen risiko. "Kami dari sisi regulator, akan panggil pelaku Fintech kalau tidak ada manajemen risiko, jadi berlaku tidak hanya untuk Modalku," tuturnya.
Tugas OJK, kata Hendrikus, Fintech harus mempunyai manajemen risiko agar tidak mengganggu kepentingan negara dan kepentingan konsumen. Dengan begitu, OJK akan mengawasi supaya uang pinjaman Fintech tidak disalahgunakan, data nasabah tidak diberikan kepada orang lain, serta lainnya.
"Jangan sampai pula, platform ini malah membuat rakyat semakin miskin. Kami harus pastikan praktik P2P lending tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan kita," kata Hendrikus.