REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengungkap ada dua jenis pelanggaran yang paling sering dilakukan importir untuk menghindari perizinan larangan terbatas (lartas). Dua jenis pelanggaran tersebut yakni under invoicing dan miss declare.
"Under invoicing itu nilai barang yg sebenarnya berbeda dengan nilai yang dilaporkan," kata Heru, saat dihubungi Republika, Jumat (14/7).
Adapun miss declare adalah pemberitahuan jenis barang yang berbeda dengan barang sebenarnya. Ditjen Bea Cukai memperkirakan ada sekitar 1.500 importir yang berisiko tinggi melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Jumlah mereka setara dengan 4,7 persen dari total importasi.
Meski jumlahnya tak sampai 5 persen, Heru mengatakan, ulah importir-importir nakal tersebut telah menggerus pendapatan negara. Karenanya, pada Rabu (13/7) lalu, Kementerian Keuangan, dalam hal ini Ditjen Bea Cukai, bersama sejumlah lembaga penegak hukum telah sepakat membentuk satuan tugas (Satgas) Penertiban Impor.
Jaksa Agung M Prasetyo menambahkan, selama ini upaya pemberantasan kegiatan impor ilegal terkesan parsial karena setiap lembaga bekerja sendiri-sendiri. Padahal, kegiatan impor ilegal sendiri telah menabrak sejumlah aturan lintas lembaga, mulai dari perpajakan, penyelundupan, perdagangan ilegal, bahkan mungkin hingga ke tahap pencucian uang. Karena itu, kata Prasetyo, upaya pencegahan dan penindakan yang dilakukan pemerintah harus menggunakan pendekatan yang komprehensif.
"Kita harapkan dengan adanya Satgas ini upaya pencegahan dan penindakan impor berisiko tinggi bisa lebih optimal dan mereka tidak punya ruang gerak lagi untuk kabur dari hukum," kata Jaksa Agung.