REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT. Pertamina persero terpaksa harus menjual kembali LNG yang tengah mereka impor dari Cheniere Energy Inc pada 2019 mendatang. Hal ini seiring dengan perbaikan cadangan LNG Indonesia sehingga produksi dalam negeri melimpah.
Vice President LNG Pertamina Didik Sasongko Widi menjelaskan pertamina bersama pemerintah memang sempat memperkirakan cadangan LNG negara yang akan defisit pada 2019 mendatang. Namun, ternyata pasca produksi yang membaik yang dikeluarkan dari lapangan Bontang dan Tangguh Train III menyebabkan cadangan LNG negara menjadi lebih besar.
Padahal Pertamina saat ini sudah terlanjur menandatangani kontrak impor LNG pertama di tahun 2019. Impor LNG tersebut nantinya akan datang di tahun 2019 mendatang dengan volume 0,76 juta metrik ton per tahun (MTPA) selama 20 tahun mendatang.
"Tentu saja kalau gas impor ini tidak terserap akan kami jual lagi. Tapi, di sisi lain, kalau gas impor ini tidak terserap dalam negeri apakah ngeri? Artinya kan ekonomi tidak jalan," kata Didik saat ditemui di Gas Indonesia Summit di JCC, Kamis (13/7).
Untuk bisa menjual cadangan LNG, Pertamina berencana untuk mencari pasar untuk bisa menyerap cadangan LNG tersebut. Pertamina rencananya akan menjual LNG impor tersebut pada pasar potensial seperti Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Selain itu, Pertamina juga membidik pasar baru di Asia seperti Bangladesh, Pakistan, Myanmar, dan Filipina.
"Banyak negara yang potensial, seperti Jepang karena mereka adalah pengguna LNG terbesar di dunia. Namun, di sana adalah tough market," ujar Didik.
Meski mempunyai pasokan yang berlebih, Didik mengatakan pertamina belum berniat membatalkan dua kontrak impor LNG lainnya dari ExxonMobil dan Woodside Petroleum Ltd. Dua kontrak impor LNG ini diperlukan sebagai cadangan kalau proyek-proyek penghasil gas tidak berjalan sesuai harapan, utamanya kilang LNG Masela kelolaan Inpex Corporation yang dijadwalkan bisa beroperasi 2025 atau 2027 mendatang.
Didik menambahkan, meski dalam data yang diperoleh oleh Pertamina dan Pemerintah cadangan dalam negeri akan tetap melimpah namun ia berharap gas impor ini bisa memasok Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sisa megaproyek 35 ribu Megawatt (MW) yang sekiranya mulai beroperasi pasca 2020 mendatang. Apalagi, kebutuhan gas untuk seluruh PLTG di dalam 35 ribu MW ini terbilang besar, yaitu 1.100 MMSCFD.
Adapun rencananya, Woodside akan memasok gas 0,6 MTPA ke Pertamina antara tahun 2022 hingga 2034 mendatang dan memiliki opsi untuk menambah impornya ke angka 1,1 MTPA mulai 2024. Sementara itu, ExxonMobil rencananya akan mengirim 1 MTPA yang dimulai tahun 2025 hingga 2045.
"Keperluan gas bagi pembangkit itu banyak, tapi apakah dari proyek-proyek baru itu cukup menyuplai gas? Namun, dengan adanya potensi produksi domestik, kami juga akan me-hold kontrak-kontrak baru LNG kedepannya," ujar Didik.