REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mempertanyakan efektivitas pembentukan satuan tugas (satgas) penertiban impor berisiko tinggi (PIBT) yang diprakarsai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Menurut Enny saat dihubungi di Jakarta, Rabu (12/7), pembentukan satgas ini akan menghabiskan biaya dan merupakan euforia semata sehingga tidak akan menyelesaikan persoalan utama dalam bidang penertiban impor berisiko tinggi.
Pembentukan satgas tersebut, tambah Enny, juga akan memberatkan importir yang akan menanggung beban ongkos sebelum barang kiriman tersebut tiba di pelabuhan.
Untuk itu, Enny menyarankan agar persoalan impor berisiko tinggi diatasi melalui optimalisasi fungsi dan koordinasi otoritas kepabenanan yang selama ini belum terlihat efektif.
Salah satunya adalah dengan mendorong pemanfaatan portal Indonesia National Single Window (INSW) yang dinilai belum terlihat jelas manfaatnya bagi percepatan pelayanan di kawasan pelabuhan.
"Satgas mestinya untuk memperkuat dan menggaransi aturan-aturan yang standar, bukan untuk menyelesaikan persoalan. Jadi terbalik, instrumennya dulu diperkuat, baru dibentuk Satgas. Sementara itu, INSW baru wacana terus, pengaplikasiannya belum nyata di lapangan," katanya.
Enny juga mempertanyakan kewenangan otoritas kepabeanan yang sangat besar di kawasan pelabuhan sehingga bisa menentukan boleh tidaknya suatu barang untuk melintas.
"Kalau misalnya ada satu rencana Bea Cukai mau membuat suatu klasifikasi (penertiban impor berisko tinggi), itu sebenarnya yang berhak membuat bukan Bea Cukai, tapi kementerian teknis," ujarnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berencana membentuk satgas penertiban impor berisiko tinggi yang akan dikuatkan melalui penerbitan perpres. Pembentukan satgas ini diperlukan karena banyaknya praktik tidak sehat di pelabuhan dan perbatasan yang dapat merusak sendi perekonomian.
Tugas satgas adalah melaksanakan penertiban impor berisiko tinggi di pelabuhan utama dan perbatasan wilayah Indonesia. Wewenang satgas adalah melakukan pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan teknologi informasi dari kementerian lembaga atau pihak lain.
Selain itu, membangun sistem pencegahan dan penertiban impor berisiko tinggi serta melakukan operasi tangkap tangan dan melakukan kegiatan evaluasi.
Satgas ini diketuai oleh Menteri Keuangan dengan Dewan Pengarah adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Menteri Perdagangan dan kepala Kantor Staf Kepresidenan. Menurut rencana, Direktur Jenderal Bea dan Cukai akan bertugas sebagai ketua harian.