Ahad 09 Jul 2017 12:50 WIB

Sektor Ritel Minta Stimulus Pendorong Daya Beli Masyarakat

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Dwi Murdaningsih
Seorang pegawai membenahi rak produk UMKM di salah satu outlet minimarket Alfamart (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Seorang pegawai membenahi rak produk UMKM di salah satu outlet minimarket Alfamart (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pelaku usaha sektor ritel mendesak pemerintah lebih peka dalam memberikan stimulus bagi industri yang kini sedang ditekan oleh daya beli masyarakat yang rendah. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menjelaskan, stimulus yang ia maksud bukan saja berasal dari pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah yang menjalankan kebijakan di lapangan. Ia berharap, mimpi buruh atas lemahnya daya beli masyarakat sejak dua tahun belakangan segera bisa berakhir dan membangkitkan sektor ritel, terutama ritel modern.

Fokus pertama yang harus dijalankan pemeirntah, jelas Roy, adalah pertimbangan pemerintah dalam menjalankan kebijakan harga yang diatur pemerintah (administered prices) seperti harga Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, elpiji, dan air untuk golongan ekonomi mampu dan tidak mampu. Ternyata, kebijakan atas harga yang diatur pemerintah bisa berdampak serius terhadap daya beli masyarakat.

Hal ini, katanya, bisa terlihat di sepanjang semester I 2017, di mana terjadi kenaikan atau penyesuaian tarif listrik golongan daya 900 Volt Ampere. Masyarakat yang mengalami kenaikan tarif listrik cenderung menahan belanjanya demi bisa mengakomodasi kebutuhan rumah tangga atas listrik.

"Regulator harus pikirkan ini ke depan. Karena daya beli belum normal," ujar Roy, Ahad (9/7).

Sementara fokus kedua adalah kebijakan pemerintah atas penetapan suku bunga dasar kredit. Hal ini tentunya ada kaitannya dengan rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dalam menaikkan suku bunganya sepanjang tahun 2017 ini.

"Tapi The Fed kan 2-3 bulan ke depan tidka naikkan suku bunga. Jadi, apakah (bunga kredit) bisa turun? Hitungan ini bisa pengaruhi belanja rumah tangga," ujar Roy.

Roy melanjutkan dengan fokus ketiga yang harus diberikan pemerintah, yakni pemahaman pemerintah atas pola perilaku masyarakat dalam berbelanja. Roy menyayangkan sikap pemerintah yang terlihat tidka konsisten dalam menjalankan kebijakan perdagangan di sektor ritel. Ia juga meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam menyampaikan aturan yang justru menggerus daya beli  masyarakat.

"Kalau memang belum matang atau belumdi audiensikan dengan pelaku usaha, jangan dinyatakan dulu. Begitu dinyatakan terus nggak jadi, malah jadi sentimen negatif ke masyarakat," ujar Roy.

Keempat, adalah upaya untuk menjaga inflasi. Ia mengingatkan pemerintah bahwa naiknya tingkat inflasi secara tajam bisa berimbas ke pelemahan daya beli.

Sementara itu, sejumlah insetif dan stimulus juga diperlukan pengusaha ritel untuk tetap bisa bertahan di tengah lesunya daya beli. Sejumlah stimulus yang dinantikan kalangan pengusaha adalah kemudahan perizinan dalam membuka ritel modern baru, perizinan gangguan (HO, dan relaksasi atas ekpansi ritel.

"Kita masih nunggu yang revisi Perpres 112 perihal ekspansi toko ritel modern," ujar Roy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement