REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlambatan penjualan ritel diprediksi akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal kedua 2017. Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun ini akan berada di kisaran angka 5,11-5,12 persen.
Ia menjelaskan, jika mengacu pada data dari asosiasi ritel, memang ada penurunan penjualan dibanding tahun lalu. Berdasarkan data yang ia dapat, Lana menyebut Ramayana hanya meraih 25 persen dari total omzet tahunannya selama Ramadhan dan Idul Fitri kemarin. Padahal, tahun sebelumnya perusahaan ritel itu mampu meraup 40 persen dari omzet tahunannya hanya dari momen hari besar keagamaan tersebut.
Menurut Lana, data penjualan Ramayana itu sudah bisa memotret kondisi industri ritel secara umum. Karenanya, jika memerhatikan data penurunan penjualan tersebut, maka dapat diprediksi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan terpengaruh. Hal ini karena konsumsi rumah tangga memiliki porsi yang signifikan dalam PDB.
"Kalau mempertimbangkan potensi penurunan ritel, kemungkinan pertumbuhan ekonomi kita 5,11-5,12 persen," ujarnya, saat dihubungi Republika, Kamis (6/7).
Lebih lanjut, Lana menjelaskan, data laju inflasi inti yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu juga menunjukkan angka yang stagnan, bahkan cenderung lebih rendah dibanding tahun lalu. Laju inflasi inti ini mencerminkan sisi permintaan yang melambat, alias daya beli masyarakat tengah turun. Asumsi tersebut kemudian dikuatkan oleh data penjualan ritel yang juga melambat.
Kendati demikian, Lana menegaskan bahwa penjualan ritel tidak hanya dapat dilihat dari penjualan di toko riil saja. Sebab, seperti diketahui, saat ini ada pola perubahan belanja di mana masyarakat gemar melakukan online shopping.
"Bisa saja penurunan ritel dikompensasi dengan penjualan online. Kalau impas, berarti tidak ada penurunan daya beli," kata dia. Hanya saja, Lana mengaku tidak memiliki data penjualan produk ritel secara online.