Kamis 15 Jun 2017 16:46 WIB

Kebijakan Divestasi Tambang Dinilai Ganggu Iklim Investasi

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nur Aini
Tambang (ilustrasi)
Foto: Antara
Tambang (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kebijakan divestasi tambang hingga 51 persen dinilai dapat mengganggu iklim investasi pertambangan di Indonesia. Pemerintah diminta mengevaluasi kebijakan tersebut.

Peneliti dari Natural Resource Governance Institute Emanuel Bria mengatakan, apabila pemerintah memaksa untuk menjalankan kebijakan divestasi ini, maka akan berpengaruh terhadap pendapatan negara dari investasi.

"Karena, berdasarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investor dalam negeri saat ini masih belum mampu menggantikan investor dari luar,” kata Emanuel Bria, di Jakarta, Kamis (15/6).

Dia mengatakan, kebijakan divestasi akan memicu kecenderungan perilaku investor dalam negeri untuk berutang dari pemain asing (kredit luar negeri), atau menjual aset di sektor lain miliknya untuk membeli saham, sehingga akibatnya mengurangi investasi di sektor lainnya.

Menurut Emanuel, kebijakan divestasi saham 51 persen tersebut sangat berisiko, “Bila pemerintah memaksa untuk membelinya dengan menggunakan dana APBN, pasti ada sektor lain yang harus dikorbankan, padahal sekarang saja pembiayaan dari APBN mengalami defisit, artinya tidak mencukupi untuk menjalankan pembangunan,” ujarnya.

Pemerintah, ungkap Emanuel , sebaiknya lebih mementingkan pembangunan rumah sakit dan infrastruktur yang membutuhkan dana sebesar Rp 1.843 triliun hingga 2025, ketimbang berinvestasi di sektor tambang yang tergolong beresiko tinggi dan terbuka terhadap investor yang sudah siap menanggung risiko di dalamnya.

Dia menjelaskan, pengalaman di berbagai negara dan juga di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan divestasi tidak mendatangkan keuntungan maksimal buat negara dan rakyat banyak. Jika pemerintah ingin mendapatkan manfaat secara maksimal, lebih baik fokus pada renegosiasi tarif royalti dan pajak serta pembukaan lapangan kerja.

"Pemerintah bisa fokus dalam renegoisasi kontrak seperti penerapan pajak tinggi, pembukaan lapangan kerja dan pembangunan smelter sehingga perusahaan tersebut memahami apa yang menjadi prioritas pemerintah," kata dia.

Menurut Emanuel, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, fokus pada perpajakan yang tinggi, stabil dan menarik investasi. Kedua, mencari cara yang lebih bersifat kehati-hatian untuk menilai saham yang tidak menghambat investasi. Ketiga, memastikan penjualan saham transparan untuk mencegah korupsi.

Sedangkan rekomendasi yang terakhir, gunakan APBN untuk membangun infrastruktur dan rumah sakit, bukan untuk membeli saham tambang. “Jangan sampai kebijakan divestasi ini mengancam investasi masa depan,” ujarnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement