REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Panitia Kerja (Panja) Asumsi Dasar Makro Badan Anggaran menyepakati poin-poin asumsi makro yang akan dijadikan sebagai dasar pembahasan Nota Keuangan oleh pemerintah dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Pokok-pokok asumsi dasar makro ini sebelumnya telah dibahas di masing-masing komisi untuk kemudian dilakukan lagi pembahasan di level Badan Anggaran.
Salah satu hasilnya yakni, Badan Anggaran memutuskan untuk menaikkan rentang harga minyak dunia (ICP/Indonesia Crude Price) dari sebelumnya 45-50 dolar AS per barel seperti yang disepakati di Komisi VII DPR menjadi 45-55 dolar AS per barel. Artinya, rentang atas dibuat lebih tinggi untuk mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia ke depan.
Wakil Ketua Badan Anggaran Said Abdullah menyebutkan bahwa asumsi makro lain yang disepakati untuk dijadikan bahan pembahasan RAPBN 2018 yakni pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 hingga 5,6 persen, inflasi 2,5 hingga 4,5 persen, SPN 3 bulan di rentang 4,8 hingga 5,6 persen, dan nilai tukar rupiah Rp 13.300 hingga Rp 13.500 per dolar AS.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menilai bahwa angka pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan di rentang 5,2 persen hingga 5,6 persen dengan nilai tengah 5,4 persen sudah cukup mewakili optimisme pemerintah sekaligus kehati-hatian dalam menghadapi risiko eksternal dan internal. Tak hanya itu, rentang harga minyak Indonesia juga dianggap cukup menjawab tantangan global di mana harga minyak sangat rentan dengan pergerakan politik dunia dan besaran permintaan atas minyak mentah.
"Kami comfort pertumbuhan di level sekian karena ada progres, optimisme yang kami sampaikan dan menunjukan tingkat realistis dalam range yang ada. Harga minyak juga dilihat dari kecenderungan harga minyak kedepan dan database sekarang," ujar dia.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat menunjukkan tren penurunan pada 2013 hingga 2015 lalu sebetulnya disebabkan oleh isu kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dan harga komoditas ekspor Indonesia yang anjlok, terutama perkebunan dan pertambangan. Kondisi ini mulai berubah sejak 2016 lalu di mana ekonomi AS mulai stabil dan berimbas pada iklim ekonomi dunia dan Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun, didukung dengan perbaikan harga komoditas bisa merangkak ke level 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ia menambahkan, Indonesia bisa saja menjaga suku buga kredit di level yang rendah dengan cara menekan tingkat inflasi. Artinya, solusi pencapaian suku bunga kredit rendah adalah dengan menjaga stabilitas harga bahan pokok terutama melancarkan pasokan.
Sementara untuk asumsi dasar makro terkait kurs, BI melihat bahwa kenaikan suku bunga The Fed hingga level normal di tahun ini akan ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi AS. Hal ini akan berdampak pada permintaan produk dari Indonesia yang akan semakin meningkat dan ikut memperbaiki iklim ekonomi domestik.
"Memang situasinya di 2018 itu masih kebijakan AS. Sehingga dari sisi ekspor kita lihat ada harapan, di harga komoditas terutama di pertambangan ada harapan," ujar Mirza.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan, pertumbuhan ekonomi di rentang 5,2 hingga 5,6 persen sebetulnya sudah didengungkan pemerintah sejak 2016 lalu. Pemerintah, kata dia, telah memiliki optimisme bahwa iklim investasi membaik seiring dengan perbaikan kemudahan memulai usaha dan perbaikan outlook investasi yang diberikan lembaga pemeringkat internasional seperti Moody's dan Fitch.
"Kita juga mulai mengarah ke ekpsor dari sumber daya alam harganya mulai membaik, dan itu sudah mulai terlihat saat kita memutuskan B20 untuk biodiesel sebetulnya terlihat ada, harga dari palm oil yang membaik. Nah memang kita juga percaya bahwa fiskalnya tidak lagi menjadi risiko yang terlalu besar," katanya.
Hanya saja, Darmin memproyeksikan imbas perbaikan peringkat utang Indonesia belum bisa dirasakan dalam waktu dekat. Ia menjelaskan, sebagian besar investor di dunia menganut aturan bahwa dana investasi hanya bisa mengalir ke negara-negara yang sudah memiliki opini 'investment grade' dari tiga lembaga pemeringkat besar dunia, yakni Fitch Ratings, Moody's, dan Standard and Poor's (S&P).