REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjamin Indonesia akan terus menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono mengatakan segala kampanye hitam dari dalam dan luar negeri tidak berpengaruh pada permintaan global akan sawit tanah air.
"Permintaan global akan tinggi, bahkan cenderung meningkat," kata Joko lewat keterangan tertulis, pada Kamis (1/6).
Ia menerangkan pada April 2017, permintaan minyak sawit (CPO dan turunannya) dari Eropa justru naik sekitar 8 persen. Sebelumnya pada Maret 2017 sekitar 446,92 ribu ton, sebulan kemudian menjadi 482,95 ribu ton.
"Permintaan dari negara-negara lain juga mencatat kenaikan yang sama, kecuali dari Republik Rakyat Tionglok yang turun karena program pengembangan peternakan sehingga lebih banyak mengimpor kedelai untuk pakan ternak dan mendapatkan minyak dari proses crushing kedelai tersebut," ujar Joko.
GAPKI berkomitmen mendukung program peningkatan produktivitas petani dengan mendorong para anggota memperluas kerjasama kemitraan antara perusahaan dengan perkebunan rakyat. Joko menegaskan Indonesia memiliki keunggulan kompetitif untuk mengembangkan sektor perkebunan kelapa sawit karena infrastruktur usaha yang memadai, kondisi cuaca, ketersediaan tenaga kerja, dan dukungan dari masyarakat atau petani dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit.
"Namun demikian, masih banyak ditemui distorsi kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah terkait pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit. Bisa jadi, masih munculnya berbagai kebijakan yang distortif ini, tidak lepas dari tekanan negara-negara maju melalui berbagai kampanye negatif terhadap keberadaan sektor kelapa sawit di Indonesia," kata dia.
Hingga tahun 2016, dengan luas lahan 11,5 juta hektare, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 34,5 juta ton. Dari produksi tersebut, 25,11 juta ton terserap di pasar ekspor. Lima kawasan tujuan ekspor terbesar minyak sawit Indonesia adalah India (5,78 juta ton), Uni Eropa (4,37 juta ton), Cina (3,22 juta ton), Pakistan (2,06 juta ton), dan negara-negara Timur Tengah (1,97 juta ton).
"Permintaan dari negara-negara tersebut terus meningkat, selain juga ada tambahan permintaan dari berbagai negara tujuan ekspor baru seperti Amerika Serikat dan Eropa Timur," ujar Joko.