REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait keterbukaan informasi perpajakan. Perppu ini ditandatangani pada 8 Mei 2017. Draft Perppu ini pun telah dikirimkan ke DPR untuk segera dibahas.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Perppu Nomor 1 tahun 2017 sebenarnya adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. Sebab, peraturan ini sudah menjadi kesepakatan dunia terkait dengan keterbukaan akses perbankan untuk perpajakan.
"Yang jelas pada masa sidang Paripurna nanti tentunya akan masuk dan mulai dibahas," kata Pramono di Istana Negara, Rabu (17/5).
Pramono menjelaskan, peraturan ini sebenarnya memang harus diundngakan. Dengan program tax amnesty yang telah dijalankan bersama, maka langkah berikutnya adalah membuka seluas-luasnya akses agar bisa digunakan oleh Kementerian Keuangan dalam hal ini Ditjen Pajak.
Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2009-2014 ini menuturkan, keterbukaan akses keuangan ini bersifat baik bagi semua stakholder, karena nantinya semua akses keuangan bisa lebih transparan, sehingga setiap orang tidak bisa menutupi atau 'menghilangkan' data keuangan mereka.
Dia pun meyakini semua partai politik di DPR akan menyetujui pengajuan Perppu tersebut. Karena peraturan ini akan berdampak baik bagi dunia usaha dan perekonomian bangsa. Jika ada pihak yang tidak mendukung, bisa jadi pihak tersebut takut karena terlalu banyak menyembunyikan data keuangannya.
"Kalau ingin keterbukaan, transparansi ya sekarang harus dibuka," ujar Pramono
Namun untuk keterangan lebih jelas, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan menyampaikan secara terperinci mengenai Perppu keterbukaan informasi perpajakan. Pihak Istana sudah berkoordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan terkait penjelasan tersebut.