Ahad 14 May 2017 15:13 WIB

Cina Disebut Ingin Kuasai Perdagangan Dunia Lewat Jalur Sutra Baru

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
Bendera Cina
Bendera Cina

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina telah membuka secara resmi acara One Belt One Road atau diistilahkan sebagai Jalur Sutra Baru. Melalui kegiatan ini, Pemerintah Cina berencana untuk membangun jaringan rute perdagangan baru yang luas di seluruh dunia. Sejumlah proyek seperti kereta api berkecepatan tinggi yang menembus hingga ke Eropa, pelabuhan besar di Asia dan Afrika, dan serangkaian zona perdagangan menjadi misi utama Cina.

Pemerintah Cina di bawah Presiden Xi Jinping bersedia mengeluarkan dana hingga satu triliun dolar AS untuk pembangunan proyek infrastruktur, dan berharap bisa mengikat lebih dari 65 negara yang merupakan dua pertiga dari populasi dunia dalam perekonomiannya. Dilansir ABC, Ahad (15/5), sejumlah ekonom menilai langkah ini mirip dengan Marshal Plan yang modern, di mana program ini mampu membantu Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang adidaya di dunia pasca-Peran Dunia II. Namun, OBOR dianggap akan jauh lebih besar dari program milik AS tersebut. Istilahnya, jika AS hanya menghabiskan dana sebesar 130 miliar dolar AS, maka Cina berharap bisa menghabiskan lebih besar.

OBOR adalah upaya masyrakat dan pemerintah Cina untuk mengamankan dominasi di pasar global pasa saat AS mengalami kemunduran. OBOR juga menjadi ujung tombak untuk menjaga pertumbuhan dan kekayaan yang kuat dalam beberapa dekade mendatang.

Tujuan dari program ini, Cina berupaya mengangkat perdagangan mereka sebesar 2,5 triliun dolar AS dalam satu dekade dengan membanjiri pasar dunia melalui  sejumlah produk Cina yang berkualitas dan harganya bersaing. Ini akan menjadi bangunan kerajaan dalam kala yang belum pernah ada di dunia sebelumnya.

Professor Hubungan Internasional Universitas Renmin, Beijing, Wang Yiwei menuturkan, setelah Presiden AS Donald Trump mengambil alih kekuasaan, dia menghentikan rencana kerja sama perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP), dan menjadi isolasionis. Hal ini membuat dominasi Cina atas perdagangan dengan negara lain semakin kuat.

"Cina adalah kekuatan terbesar dan kami menyambut negara-negara lain bersama kami untuk mencapai peremajaan hebat. Inilah impian Cina kami," katanya.

Proyek One Belt One Road sudah mulai berjalan di pusat industri Chongqing di Cina selatan. Di pusat logistiknya yang masif, kontainer dipindahkan 24 jam sehari ke kereta yang memindahkan barang-barang Cina seperti Ipads dan bagian mobil ke barat untuk masuk ke negara Asia Tengah, Rusia, dan Eropa.

Juru Bicara Chongqing Logistics City, Gu Xin mengatakan bahwa jalur kereta menjadi transportasi yang menyediakan akses yang andal, aman dan murah ke pasar dunia. "Rute perdagangan baru akan membawa lebih banyak bisnis dan perusahaan internasional besar di sini, yang akan membuka Cina selatan dan Chongqing ke seluruh dunia," katanya.

Perusahaan mobil Lifan di Chongqing memproduksi produk otomotif. Setiap dua menit SUV berkualitas tinggi keluar dari jalur perakitan dan hanya dijual 12 ribu dolar AS. Perusahaan ini mampu mengekspor ke 30 negara.

Presiden Lifan, Mu Gang mengatakan, mereka sukses karena mereka berfokus pada inovasi dan menanggapi dengan cepat kebutuhan dan kebutuhan konsumen. Teknologi, desain, pengerjaan, dan kualitas yang dihasilkan pun mumpuni karena mengikuti sistem yang komprehensif. Lifan merupakan perusahaan model untuk inisiatif One Belt One Road. Perusahaan dimiliki secara pribadi dan didorong oleh kebutuhan pasar, bukan tuntutan negara.

Kota Chongqing telah melihat manfaat One Belt One Road. Kota ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi 11 persen, atau hampir dua kali lipat rata-rata nasional. Diharapkan, apa yang terjadi di Chongqing adalah permulaan dalam proyek besar untuk meningkatkan perekonomian Cina.

Profesor Wang menjelaskan, meski berhasil menjadi percontohan, ada tantangan besar di depan jika keberhasilan ini harus direfleksikan.

"Cina adalah negara komunis yang dijalankan oleh sebuah kepemimpinan hierarkis, dan banyak negara Barat adalah partai demokratis dan oposisi yang dapat memiliki rencana yang berbeda," kata Profesor Wang. Hal ini bisa membuat koordinasi dan perencanaan akan lebih sulit.

Negara-negara di sepanjang One Belt One Road adalah perpaduan antara budaya dan sistem. Beberapa bukan ekonomi pasar dan setengahnya adalah Islam dengan hukum yang berbeda. Beberapa, seperti Turki dan Mesir, tidak stabil sehingga lebih sulit membangun dan memelihara proyek.

Presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, Jorge Wuttke bahkan menila bahwa OBOR hanya membuat khawatir perdagangan bisa menjadi satu arah. Menurutnya, untuk membuat kesuksesan Pemerintah Cina harus benar-benar  membuka pasar dan menghilagkan hambatan peraturan. Jika tidak maka OBOR akan menjadi bumerang bagi Cina.

""Kami khawatir bahwa dalam dekade berikutnya inisiatif ini akan dikenang sebagai 'One Belt and One Trap', pemborosan sumber daya yang sangat bergantung pada pengusahaan penebangan kayu dan perusahaan-perusahaan milik negara yang tidak efisien," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement