REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IV DPR Ichsan Firdaus meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera melakukan dialog dengan para nelayan dan pemangku kepentingan guna mencari solusi terkait larangan penggunaan alat tangkap cantrang.
Sebab, sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Bela (trawl) dan pukat tarik dan diberlakukan sejak 1 Januari 2017 gelombang protes pecah dari para nelayan. Sementara nelayan tidak diberikan solusi terkait penggantian alat cantrang.
"Harus ada dialog, kalau tegas ya tidak maslaah tapi kalau berfikir tanpa melihat implikasi ke depan itu berbahaya, bagi saya ini menjadi cermin dari sebuah kebijakan pemerintah," kata Ichsan dalam diskusi Perspektif Indonesia dengan topik: "Kepastian Alat Tangkap Nelayan" di kawasan Menteng, Jakarta pada Sabtu (13/5).
Ichsan menilai dalam dua peraturan menteri baik Permen Nomor 1 Tahun 2015 tentang penangkapan lobster maupun Permen Nomor 2 Tahun 2015, nampak Pemerintah tidak mempertimbangkan implikasi dari dampak dibuatnya Permen tersebut. Ia mencontohkan dampak dari Permen 2/2015, ribuan nelayan di Nusa Tenggara Barat (NTB) kehilangan pekerjaannya.
"Begitu banyak sekali dampaknya terhadap nelayan artinya Bu menteri tidak melihat dampak dari pelarangan itu," ujarnya.
Selain itu, jika Permen dimaksudkan demi sisi ramah lingkungan, namun Permen juga tidak bisa menutup mata dengan pertumbuhan ekonomi. Sehingga dampak pengangguran dari Permen tersebut juga harus diantisipasi.
"Ada pola pikir yang salah terhadap aturan ini, di satu sisi dia berfikir ada sustainability, tapi di sisi lain ekonomi juga harus tumbuh," jelas Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar tersebut.
Hal serupa diungkapkan Anggota Komisi IV DPR lainnya Fauzih Amro yang menilai kebijakan yang dikeluarkan Menteri KKP dikeluarkan tanpa dialog dengan para nelayan. Menurutnya, jika Pemerintah menghendaki penggantian cantrang demi kepentingan ramah lingkungan, masyarakat harus diberi pemahaman.
"Yang ramah lingkungan seperti apa. Makanya buka ruangan dialog. Nggak bisa otoriter, Tapi harus dengarkan suara pesisir dan ribuan nelayan," ucapnya.