REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program bahan bakar minyak (BBM) Satu Harga menelan biaya distribusi yang besar. PT Pertamina (Persero) harus merogoh kocek sedikitnya Rp 2 triliun per tahun untuk mengirim BBM ke wilayah-wilayah terpencil dan terluar.
Direktur Pengolahan Pertamina Toharso mengatakan, Pertamina siap mewujudkan BBM Satu Harga di 145 lokasi hingga 2019. Meskipun, tingginya biaya distribusi akan mengurangi laba perseroan.
Sebagai badan usaha milik negara, kata dia, Pertamina harus mampu menyamaratakan harga BBM di Tanah Air yang merupakan amanat Presiden Joko Widodo. "Ini (biaya distribusi) uang sedekahnya Pertamina," kata Toharso saat bertemu awak media, di Jakarta, Senin (8/5).
Toharso menjelaskan, biaya distribusi tinggi karena sulitnya akses pengiriman. Untuk memasok BBM ke perbatasan Kalimantan misalnya, Pertamina harus menggunakan pesawat air tractor dari Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Jumlah BBM yang dipasok sekitar empat ton dalam sekali pengiriman menggunakan pesawat. Jika diperinci, biaya distribusi per liter BBM sebesar Rp 38 ribu. Pengeluaran tersebut untuk membayar sewa pesawat hingga jasa pilot.
"Kami menjualnya dengan harga yang sama seperti BBM penugasan," kata Solarso. Dia menjelaskan, harga solar BBM penugasan sebesar Rp 5.150 per liter, sedangkan Premium Rp 6.450 per liter.
Toharso mengakui ada kendala dalam menjalankan BBM Satu Harga di seluruh Indonesia. Pertamina kesulitan mencari pengusaha atau investor yang mau membuka stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di wilayah terpencil dan terluar.
"Tidak ada yang mau buka SPBU karena pengirimannya tidak bisa pakai jalur darat," katanya.
Dia menceritakan, tempat pengisian BBM yang ada di wilayah terpencil hanya lapak-lapak kecil seperti 'Pertamini'. Meski begitu, tegas dia, Pertamina akan terus menjalankan program BBM Satu Harga meskipun banyak tantangan serta dana yang harus dikeluarkan.
"Rakyat punya hak untuk menikmati BBM dengan harga yang sama," katanya.