REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah pada kuartal I 2017 masih cukup tinggi. Berdasarkan data OJK, per Februari 2017, pertumbuhan pembiayaan pada sektor konstruksi dan rumah tangga meningkat dibanding tahun sebelumnya, masing-masing mengalami peningkatan sebesar 33,17 persen dan 31,20 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, dan perantara keuangan mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 10,36 persen, 8,79 persen, dan -3,54 persen.
Per Februari 2017, NPF pada sektor perdagangan besar dan industri pengolahan mengalami peningkatan masing-masing menjadi 9,63 persen dan 5,54 persen dari tahun sebelumnya 7,46 persen dan 4,88 persen. Sedangkan sektor konstruksi, perantara keuangan, dan rumah tangga mengalami perbaikan NPF masing-masing menjadi 5,98 persen, 1,46 persen, dan 2,78 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar 8,17 persen, 3,04 persen, dan 2,78 persen.
Pembiayaan untuk jenis penggunaan produktif yang disalurkan perbankan syariah untuk kategori usaha pada Februari 2017 didominasi oleh sektor non-UMKM baik di sisi modal kerja maupun investasi. Pembiayaan untuk kategori usaha yang diberikan untuk non-UMKM mencapai 62,77 persen atau sebesar Rp 90,05 triliun, sementara pembiayaan UMKM yang diberikan hanya 37,23 persen atau sebesar Rp 53,42 triliun.
Kualitas pembiayaan sektor produktif dan konsumtif mengalami perbaikan pada Februari 2017, masing-masing mengalami penurunan nilai rasio NPF Gross sebesar 0,21 persen dan 0,72 persen menjadi masing-masing 6,08 persen dan 2,11 persen. Perbaikan juga terjadi pada sektor UMKM maupun non-UMKM, yang memiliki NPF Gross sebesar 5,31 persen dari sebelumnya 7,91 persen dan non-UMKM yang sebesar 5,36 persen dari sebelumnya 7,29 persen.
Direktur Penelitian, Pengembangan, Pengaturan, dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Deden Firman Hendarsyah menjelaskan, NPF perbankan syariah sesuai karakteristik berkaitan dengan sektor riil. Menurut Deden, beberapa tahun terakhir sektor tersebut tersendat, seperti sektor komoditas pertambangan yang berimbas ke perbankan syariah. "Kalau kita lihat NPF perbankan syariah terkait dengan komoditas dan pertambangan, seperti transportasi pengangkutan batubara, transportasi pengangkutan sawit, itu yang terkena Imbasnya," jelas Deden, kepada Republika, akhir pekan lalu.
Deden mengatakan, cara untuk menangani NPF berada pada level aman dinilai tidak mudah diatasi. Hal tersebut tergantung bagaimana cara memitigasinya karena tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Untuk hapus buku (write off) NPF merupakan kebijakan perbankan tersebut. NPF akan otomatis menurun setelah perbankan melakukan hapus buku.
Deden berharap, tahun ini ada pemulihan pada sektor riil. Karena dari tahun ke tahun, perbankan syariah terus memupuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), untuk kemudian melakukan hapus buku. Dengan pertumbuhan pembiayaan, diharapkan sektor tersebut akan segera membaik tahun ini.
"Proyeksi tahun ini sama seperti sebelumnya, NPF bank umum 5 persen nett. Kalau itu tidak tercapai maka akan tergolong dalam bank pengawasan intensif. Itu masih jadi target indikatif Kita,"kata Deden. Sedangkan NPF BPRS trennya selalu berada di atas 5 persen, sama seperti BPR konvensional. Sehingga untuk NPF BPRS di bawah 10 persen dinilai masih dalam kategori sehat.
Deputi Komisioner Industri Keuangan Non Bank I OJK, Edy Setiadi menambahkan, tingginya NPF BPRS masih dalam taraf yang aman selama rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) dalam kondisi yang cukup. "Per Januari 2017 NPF nya 8,21 persen. Tapi CAR nya besar 23,47 persen. Jadi back up-nya besar. Kalau NPF tinggi CAR nya harus tinggi,"kata Edy.