Selasa 02 May 2017 16:26 WIB

Tanggapi Kasus BLBI, JK Anggap Aturan tak Salah

Rep: Rizky Jaramaya / Red: Nur Aini
 Wakil Presiden Jusuf Kalla
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Wakil Presiden Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan, kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bukan salah peraturannya. Namun, yang dipersalahkan adalah pihak yang tidak melaksanakan aturan tersebut dengan baik.

"Ini kan benar yang dikatakan presiden, ini kan dua hal aturan yang dibikin dalam Perpres dan macam-macam, pasti ada yang berbeda dengan aturan dan pelaksanaan. Tapi yang salah bukan pengaturannya, tapi pelaksanaannya," ujar Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (2/5).

Menurut JK, apabila terjadi penyimpangan pada pelaksanaan maka pihak yang bertanggung jawab adalah pelaksana dari aturan tersebut. "Nah, karena itu yang bertanggung jawab siapa itu yang melaksanakan, aturan-aturan clean and clear itu. Dan itu masalahnya karena release and charge. Orang itu dianggap selesai, dikeluarkan dari daftar. Padahal dia belum lunas. Kalau sudah bayar, ya diputihkan. Jadi bukan aturannya yang salah, tapi pelaksanaannya," kata Jusuf Kalla.

Dalam kasus BLBI ini, JK menyatakan, SKL diberikan padahal debitor tersebut belum melunasi kewajibannya. Oleh karena itu, kesalahan bukan pada aturannya namun pihak yang bertanggung jawab. Dalam kasus ini, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

Kasus ini berawal pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun. Pada April 2004, Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN. SKL tersebut dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarno Putri yang ketika itu menjabat sebagai presiden.

"BLBI ini hanya ada satu hal, adanya blanket guarantee bahwa semua perbankan dijamin pemerintah jika ada masalah. Itu awalnya sehingga terjadi kebocoran yang luar biasa, akibat blanket guarantee itu, dan sekarang kita tanggung semuanya," kata Jusuf Kalla.

SKL adalah pemberian jaminan kepastian hukum kepada obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada obligor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Hal ini juga dikenal dengan Inpres tentang release and discharge. Berdasarkan Inpres tersebut,  BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai, dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

"Pak Rizal Ramli jadi saksi atau ahli, karena dia jadi Menko ekuin di tahun (pemerintahan) Gus Dur. Padahal ini terjadi di tahun pada pemerintahan Pak Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Tapi itu semua hanya membuat kebijakannya saja. Dan dimulai dari Pak Harto," ujar Jusuf Kalla.

Baca juga: Rizal Ramli Sebut Ada Kebijakan Salah yang Disengaja di Kasus BLBI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement