Rabu 26 Apr 2017 17:59 WIB

Menkeu: Kasus BLBI Harus Dikejar

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Andi Nur Aminah
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Menteri Keuangan Sri Mulyani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut angkat bicara mengenai kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kembali dibuka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, kasus ini sudah lama disampaikan oleh pemerintah kepada penegak hukum karena persoalan ini memang berkaitan dengan hukum. "Ya harus dikejar," kata Sri Mulyani ditemui di Istana Negara, Rabu (26/4).

Sri Mulyani menyebut bahwa kasus yang mulai mencuat pada 2004 ini sebenarnya telah sering disampaikan pada kejaksaan, kepolisian, dan ke KPK. Mereka pun telah diberikan seluruh data-data yang memang diperlukan untuk menangkap pada obligor pada kasus BLBI. 

Tidak adanya pelunasan piutang dari para obligor ini menjadi niat yang tidak baik ditunjukan kepada pemerintah. Pada dasarnya, kewajiban yang seharusnya dipenuhi setelah ada perjanjian antara obligor dan pemerintah. Namun, Sri Mulyani mengatakan, karena hingga saat ini tidak ada itikad baik dari pada obligor ini untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka aparat hukum harus mengejar dan menangkap mereka.

"Itu (piutang) disertai dengan bunganya karena ini (kasus BLBI) kan kejadiannya sudah lama," katanya.

Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus ini telah melalui proses penyelidikan di KPK sejak 2014 lalu.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN sejak April 2002 ini menyampaikan usulan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002.

Isi usulan tersebut, yakni agar KKSK menyetujui perubahan terkait proses  litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement