REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ekonom Bank BCA David Sumual, melambatnya kinerja perbankan karena belanja pemerintah tahun ini lebih rendah daripada belanja tahun lalu sebesar 1 persen. Sementara, penerimaan pemerintah lebih tinggi dari sektor pajak dibanding belanja negara.
''Belanja modal dan belanja total juga sedikit lebih rendah dari tahun lalu,'' ucap David, saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (16/4).
Sebelumnya, Bank Indonesia merilis hasil survei perbankan kuartal I 2017. Hasilnya, kinerja perbankan melambat sesuai pola historis awal tahun dan diproyeksikan baru meningkat pada awal kuartal II tahun ini. Kondisi itu terindikasi dari penurunan saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru menjadi 52,9 persen. Sebelumnya pada kuartal IV 2016 mencapai 85,6 persen.
Menurut David, penyebab lain adalah dari sisi konsumsi ritel memiliki kecenderungan flat di kuartal I. Justru, yang meningkat adalah belanja barang-barang tersier, seperti rekreasi dan kebutuhan lainnya. Namun, kebutuhan lain untuk barang tahan lama seperti mobil, motor, dan rumah yang perlu konsederasi lama justru melemah. ''Motor walaupun penjualannya naik, tapi kenaikannya masih lemah, apalagi untuk rumah,'' ujarnya.
David juga menyatakan, ekspansi oleh pebisnis masih lemah di kuartal I. Karena mereka masih ragu baik disebabkan kondisi eksternal maupun domestik. ''Jadi kalau kuartal I memang masih lesu. Tapi menjelang akhir tahun saya pikir lebih kuat lagi,'' ujarnya,
Dia mengakui di kuartal I ini masih banyak ketidakpastian, terutama faktor kondisi global. Lalu pilkada DKI baru selesai pada April ini, walaupun pada putaran pertama di bulan Februari berlangsung aman.
David mempresiksi, kinerja perbankan akan naik di kuartal kedua ditopang oleh bulan Ramadhan dan Lebaran. Menurut dia, saat puasa kebutuhan kredit modal kerja akan ikut naik. Sementara, pemerintah sudah mulai belanja infrastruktur yang membuat gairah perbankan menjadi lebih kencang lagi.
Sejauh ini, dari data perbankan kebanyakan dana ditaruh di deposito yakni Rp 100 triliun dari Rp 120 triliun dana yang ada ditaruh di deposito. Meski demikian, David mengatakan ertumbuhan deposito melambat, sementara pertumbuhan giro dan tabungan meningkat.
''Artinya kalau ditaruh di giro dan tabungan mereka siap-siap untuk belanja. Kalau deposito mungkin belum mau belanja,'' kata David.
Baca juga: Ketidakpastian Pasar karena Donald Trump Pukul Perbankan RI