Jumat 07 Apr 2017 11:28 WIB

Tangkis Tuduhan Dumping AS, Ini yang Harus Dilakukan Indonesia

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) menuduh Indonesia berbuat curang sehingga menyebabkan angka perdagangan mereka menjadi defisit. Atas tudingan tersebut, pakar ekonomi dari CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan pemerintah harus mulai menyiapkan strategi jika tak ingin kembali kalah atas AS. 

Faisal sendiri mengaku sudah lama mengkhawatirkan hal ini akan terjadi. Ia kemudian berkaca pada kasus sebelumnya saat Indonesia kalah dalam sengketa melawan Amerika dan Selandia Baru. Kedua negara tersebut menuduh Indonesia menerapkan hambatan non tarif yang membuat produk pertanian mereka sulit masuk. 

Padahal, menurut Faisal, tuduhan tersebut tak sepenuhnya benar. Kalaupun ada, ia yakin Amerika justru jauh lebih agresif dalam menetapkan hambatan non tarif bagi negara lain. Buktinya, ada 4.700 laporan yang masuk ke World Trade Organisation (WTO) memprotes kebijakan AS. 

Sementara laporan yang mengadukan Indonesia hanya berjumlah 290. Namun begitu, pada akhirnya Indonesia kalah dalam sidang sengketa tersebut. 

Lihat juga: Soal Tuduhan Dumping AS, Ini Klarifikasi Menlu Retno Marsudi

Agar kasus serupa tak terulang, Faisal menyarankan pemerintah untuk menyiapkan strategi yang matang demi menghadapi langkah Amerika selanjutnya. "Ini masalah kesiapan pemerintah​ dari sisi informasi terkait data perdagangan dunia dan kemampuan dalam bernegoisasi," ucapnya​, saat dihubungi Republika, Jumat (7/4). 

Terkait tuduhan penyebab defisit perdagangan tersebut, Faisal melihat sasaran utama AS sebetulnya adalah Cina. Sebab, dari nilai defisit perdagangan Amerika yang sebesar 798 miliar dolar AS pada 2016 lalu, sekitar setengahnya atau 366 miliar dolar AS disumbang  oleh Cina. 

Di urutan kedua, ada Jepang yang menyumbang defisit sebesar 72 miliar dolar AS. Sementara Indonesia berada di urutan 16 dengan sumbangan defisit hanya 14 miliar dolar AS. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement