Rabu 05 Apr 2017 14:04 WIB

BI Jelaskan Indonesia tak Masuk Kategori Negara Curang Tudingan Trump

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menjadi pembicara dalam dialog Reformasi Kebijakan Operasi Moneter Bank Indonesia di Jakarta, Senin (15/8).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menjadi pembicara dalam dialog Reformasi Kebijakan Operasi Moneter Bank Indonesia di Jakarta, Senin (15/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengingatkan Kementerian Perdagangan untuk melakukan pengawasan atas permintaan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada Sekretaris Perdagangan AS untuk melakukan investigasi atas defisit perdagangan AS. Dikutip dari lama resmi Gedung Putih, defisit perdagangan AS menyentuh 500 miliar dolar AS sepanjang 2016 lalu. Sementara defisit perdagangan AS terhadap Indonesia disebut mencapai 13 miliar dolar AS.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswasra menjelaskan, sebetulnya Indonesia tidak termasuk dalam kategori negara curang seperti yang dilontarkan oleh Trump. Menurutnya, ada tiga syarat yang dipakai pemerintah AS dalam mengategorikan negara-negara yang curang dalam perdagangan. Pertama, negara yang memiliki surplus perdagangan atas AS hingga 20 miliar dolar AS lebih per tahunnya. Mengacu pada syarat pertama ini, kata Mirza, Indonesia tidak termasuk dalam "negara curang" lantaran defisitnya hanya 13 miliar dolar AS.

Ia melanjutkan, syarat kedua yang dijadikan AS sebagai patokan untuk membuat daftar negara curang adalah neraca berjalan yang surplus. Hal ini tidak berlaku bagi Indonesia karena neraca berjalan Indonesia masih mengalami defisit 1,8 hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara syarat ketiga adalah negara yang melakukan intervensi kurs satu arah secara terus menerus dalam setahun hingga 2 persen dari PDB. Artinya, intervensi yang dilakukan bank sentral membuat kurs negara tersebut melemah terhadap dolar AS sehingga ekspor ke AS akan lebih murah.

"Indonesia kalau terjadi gejolak, BI masuk ke pasar, yang terjadi malah cegah rupiah terlalu lemah. Sedangkan yang disasar Trump adalah yang sengaja buat lemah currency-nya," kata Mirza di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (5/4).

(Baca juga: Tudingan Trump Soal Indonesia Curang Dinilai Perlu Penjelasan)

Mirza menilai, dari ketiga syarat yang dipakai AS untuk menyasar negara-negara yang diyakini melakukan kecurangan perdagangan, maka Indonesia sebetulnya tidak masuk ke dalamnya. Meski begitu, Mirza mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia khusus Kementerian Perdagangan tetap harus mewaspdai Laporan Omnibus yang akan dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan AS dalam 90 hari ke depan.

"Akan keluar report itu. Yang paling berkepentingan itu teman-teman Kemendag yang harus lakukan monitoring. BI juga monitoring karena terkait kurs," kata Mirza.

Sebelumnya, Trump menyebut Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya sebagai negara yang curang dalam perdagangan. Trump menilai Indonesia dan 13 negara lainnya kerap bertindak curang dalam perdagangan bilateral. Negara tersebut antara lain Cina, Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Italia, Korea Selatan, India, Perancis, Swiss, Taiwan dan Kanada, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Akibat tudingan Trump, Indonesia dan Malaysia berisiko mengalami ancaman penurunan perdagangan pada sektor karet alam, minyak sawit, mesin, dan semikonduktor dan Vietnam untuk pakaian, sepatu dan ekspor elektronik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement