Sabtu 25 Mar 2017 00:46 WIB

Ini Syarat Bila Industri Film Lokal Ingin Berkembang

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
FIlm bioskop
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
FIlm bioskop

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Pelaku industri film, khususnya para produser, meyakini penerapan sistem transparansi untuk bioskop atau Integrated Box Office System (IBOS) mampu memberikan gambaran yang jelas tentang peta pasar perfilman Indonesia. Melalui IBOS, para pengusaha bioskop memang diharuskan melaporkan secara berkala jumlah penonton untuk setiap judul film yang diputar di bisokop.

Meski masih berupa rencana, namun kalangan produser merasa skema yang lebih transparan ini menjadi salah satu pendorong perfilman Tanah Air. Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) Fauzan Zidni menilai, sebetulnya aturan soal transparansi bagi pengusaha bioskop sudah tertuang dalam Pasal 33 UU nomor 33 tentang Perfilman.

Beleid tersebut secara tegas mewajibkan eksibitor melaporkan data-data tentang judul film yang dipertunjukkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk selanjutnya dipublikasikan kepada masyarakat. Ia menilai, transparansi ini memberikan gambaran yang jelas bagi para pelaku di balik layar terkait kondisi terkini pasar perfilman nasional.

"Metode IBOS adalah mekanisme online dan real time yang menjamin keakuratan dan transparansi data pasar bagi kami," jelas Fauzan, Jumat (24/3).

Sebelumnya memang sempat ada polemik soal skema IBOS ini. IBOS justru dianggap sebagai celah bagi negara lain mendapatkan data perfilman nasional. Polemik muncul setelah Korea Selatan menawarkan dana hibah sebesar 5,5 juta dolar AS kepada Indonesia bila IBOS jadi diterapkan.

Fauzan menilai, sesungguhnya para pelaku industri bioskop dan insan film tak perlu khawatir soal kedaulatan industri film Tanah Air. Alasannya, data yang dilaporkan hanyalah jumlah penonton untuk setiap judul. Justru, menurutnya, keterbukaan informasi soal ini mendukung para produser dalam memetakan pasar nasional.

"Bagi kami sebetulnya terserah mai pakai dana hibah Korsel atau pakai dana APBN sendiri. Yang penting adalah transparansi data perfilman diterapkan. Penting bagi kami untuk tahu pasar," katanya.

Selain itu, lanjut Fauzan, IBOS sebetulnya menjadi instrumen penting bagi pemerintah untuk membangun transparansi indsutri film nasional. Apalagi, menurutnya, kebijakan pemerintah bisa lebih tepat bila dilandasi oleh data yang akurat termasuk evaluasi dari pembagian jam tayang untuk film lokal dan film asing.

"Perlu diatur mana yang bisa diakses publik, mana data yang khusus untuk produser untuk film yang sedang diputar, dan mana data yang cuma bisa diakses pemerintah," katanya.

Fauzan menambahkan, negara yang memiliki industri film maju memiliki sistem berbasis sensus dan pelaporan box office yang real time dari bioskop. Amerika Serikat misalnya, memiliki comScore Boc Office Essentials yang juga mencakup 95 persen bioskop seluruh dunia. Bahkan, Korea Selatan sendiri menggunakan Korean Film Box Office Information System (KOBIS), dan Cina memiliki EBOT EntGroup.

"Sambil menunggi Peraturan Mendikbud soal Tata Edar Film disahkan, Bekraf memiliki PR untuk merangkul dan menjelaskan kepada stakeholder perfilman. IBOS bukan menjual data kepada asing dan menelanjangi kerahasiaan," katanya.

Sebelumnya, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) diminta lebih waspada dalam menerapkan liberasasi industri perfilman nasional. Apalagi, setelah pemerintah mencoret Daftar Negatif Investasi (DNI) dari sektor ini sejak tahun 2016 lalu.

Teranyar, Bekraf mulai menyeriusi tawaran Korea Selatan atas rencana hibah senilai 5,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 72,3 miliar untuk penerapan Integrated Box Office System (IBOS). Diterapkannya IBOS mendorong transparansi dari para pengusaha bioskop untuk membuka semua data termasuk jadwal penayangan film, hingga jumlah penonton per judul film.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement