Selasa 21 Mar 2017 22:48 WIB

Impor Cangkul Jadi Ironi Sektor Pertanian Nasional

Cangkul impor dari Cina (ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Cangkul impor dari Cina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor pertanian saat ini dinilai belum mandiri sepenuhnya. Misal hal sederhana terkait alat-alat pertanian saja harus impor. Pengamat Ekonomi Pertanian dan Lingkungan IPB, Ricky Avenzora mengatakan, kasus impor kepala cangkul beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik dan jadi bukti industri nasional masih belum terintegrasi dari hulu ke hilir. Baja yang kebutuhan produksi cangkul industri dalam negeri tak tersedia.

Catatan Kementerian Perdagangan, pemerintah  mengimpor kepala cangkul sebanyak 86.160 unit melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Jumlah tersebut sebesar 5,7 persen dari keseluruhan izin impor yang diberikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebanyak 1,5 juta unit. Kebutuhan cangkul nasional rata-rata sebesar 10 juta unit per tahun dan belum sepenuhnya dapat dipenuhi industri dalam negeri.

Ricky Avenzora menilai, diperlukan pembenahan menyeluruh baik dari sisi data maupun kebijakan pertanian yang berkaitan dengan industri, untuk mendukung pertanian dan industri nasional. Ia mengingatkan, sejatinya, Indonesia sudah mumpuni dalam hal memperkuat sektor pertanian. Sehingga jangan selalu bergantung impor.

Ia berkata, jangankan untuk memproduksi cangkul, jauh lebih dari itu bangsa Indonesia sudah lama mampu menciptakan berbagai prasyarat memperkuat sektor pertanian. "Fenomena impor cangkul, itu juga bisa memberi sinyal tidak sinkronnya berbagai lembaga kementerian dan perusahaan BUMN dalam mendukung industri dan pertanian nasional," kata Dosen Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam keterangannya, Selasa (21/3).

Untuk itu, kata Ricky, political orietation dan political will dalam membangun pertanian tidak boleh lekang oleh perubahan rezim pemerintah, serta juga tidak boleh lapuk oleh paradigma modernisasi dan teknologi. Sehingga, setiap petani, baik pada tataran individu maupun komunal,  beserta satuan ruang yang menjadi tempat tercipta dan terjadinya rangkaian dinamika pertanian, harus menjadi subjek utama yang harus selalu dijaga, diperkokoh dan diperbesar eksistensinya.

"Adapun jenis, kualitas serta kuantitas komoditas pertanian yang dipilih output yang harus direncanakan pencapaiannya utk menjamin terciptanya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia," ucap dia.

Lebih jauh ia berkata, ada sejumlah prasyarat agar sektor pertanian bisa mandiri. Pertama, adanya kesadaran yang tinggi akan hakekat pertanian, kedua adanya kesungguhan goodwill pemerintah untuk  menegakan hakekat pertanian, dan juga perlu dibuat UU Pertanian. 

"Pertanian haruslah bukan hanya dimaknai sebagai sektor pembangunan, bukan pula hanya sebagai komoditas ekonomi, maupun hanya sebagai cultural history saja. Secara hakekat, pertanian haruslah dimaknai dan dinyatakan sebagai soko-guru kehidupan," tegas Ricky.

Pertanian, terbukti, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Berbagai komoditas yang dhasilkan pada berbagai jenis/kelompok kegiatan pertanian, hanyalah merupakan suatu bentuk compliment dari berbagai proses dan fase kegiatan yang dilakukan.

Demikian juga hal nya dengan berbagai nilai ekonomi yang didapatkan, tak lain sesungguhnya hanyalah merupakan decorative values dari semua kegiatan yang dilakukan. "Jika kita semua mampu menyadari hakekat tersebut, maka berikutnya kita semua juga harus sepakat bahwa suatu soko-guru haruslah dijaga, dirawat dan terus diperbesar serta diperkokoh eksistensinya," kata dia.

Menurut dia, semua itu hanya bisa dicapai jika anggaran pertanian, kehutanan dan perkebunan bisa dialokasikan pada besaran 15 persen dari APBN secara kontinyu setidaknya hingga 25 tahun mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement