REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) menyatakan kesiapannya untuk mengucurkan pinjaman sebesar 2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 26,6 triliun untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Besaran pinjaman ini untuk melengkapi kebutuhan Indonesia dalam pembangunan infrastruktur keseluruhan sebesar 74 miliar dolar AS atau Rp 987,2 triliun per tahunnya. Apalagi, dengan nilai investasi eksisting yang sudah ada saat ini sebesar 23 miliar dolar AS, maka masih ada gap atau kekurangan investasi hingga 51 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 679 triliun per tahun.
Wakil Presiden ADB untuk Urusan Pengelolaan Pengetahuan dan Pembangunan Berkelanjutan Bambang Susantono menyebutkan, pinjaman sebesar 2 miliar dolar AS per tahun akan dilakukan secara kontinyu hingga lima tahun ke depan. Artinya, ADB siap menggelontorkan dana hingga 10 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 133,2 triliun hingga 2020. Bambang mengatakan, ada dua poin penting yang dilakukan ADB dalam menyokong pembangunan di Indonesia. Pertama, ujarnya, ADB memberikan edukasi kepada setiap negara untuk bisa belajar dari berjalannya proyek serupa di negara lain. Keberhasilan setiap negara dalam melakukan proyek nantinya bisa diterapkan di Indonesia.
Sedangkan langkah kedua, ADB akan fokus pada peningkatan keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Bahkan ia mengambil contoh, pembiayaan infrastruktur di penjuru Asia masih belum bisa dipenuhi dengan sumber pendanaan dari seluruh bank pembangunan. "Harus ada private sector. Semua bank dikumpulkan hanya 2,5 persen dari seluruh kebutuhan infrastruktur. Exclude (kecuali) Cina mungkin bisa 10 persen lah. Intinya, tak bisa hanya andalkan bank pembangunan dan biaya dari pemerintah. Tetap harus ada swasta," ujar Bambang, di Jakarta, Selasa (21/3).
ADB menargetkan, pinjaman kepada pemerintah Indonesia akan fokus kepada pembangunan infrastruktur sektor energi baru terbarukan (EBT). Direktur Analisis Ekonomi ADB Edimon Ginting menyebutkan, meski fokus saat ini masih ke sektor energi namun ke depan pihaknya mempertimbangkan untuk menyentuh sektor transportasi. Apalagi, ujarnya, ADB menyadari bahwa pembangunan jalan dan bandara di sejumlah daerah memang menjadi prioritas pemerintah saat ini.
"Memang lebih banyak di sektor energi baru dan terbarukan dan ketinggalan di transportasi. Nanti ada opsi lain mengarah ke sana, misalnya bangun bandara, dan proyek lain. Tapi proyek harus sudah siap," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas Wismana Adi Suryabrata mengungkapkan, kebutuhan biaya untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia mencapai Rp 4.800 triliun hingga 2020. "Itu dibiayai pemerintah 41 persen, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 22 persen, serta investasi swasta dengan porsi 37 persen. Kita sedang dorong yang dari swasta, melalui skema Public Privat Partnership (PPP)," katanya.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo menambahkan bahwa pemerintah sedang mencari formulasi yang tepat untuk bisa mengebut pembangunan infarstruktur. Menurutnya, pembangunan infrastruktur tidak cukup dibahas dari sisi angka-angka kebutuhan pembiayaan tetapi bagaimana reformasi anggaran bisa menjadi solusi.