Kamis 16 Mar 2017 03:45 WIB

Meski Perdagangan Surplus, Eskpor CPO dan Tembaga Anjlok

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Pekerja melakukan bongkar muat minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/Prayogi)
Foto: Prayogi/Republika
Pekerja melakukan bongkar muat minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kinerja perdagangan Indonesia pada Februari 2017 masih melanjutkan tren surplus yang sudah berjalan sejak akhir 2016 lalu. Meski surplus yang terjadi lebih disebabkan oleh nilai impor yang turun lebih dalam dibanding nilai ekspornya, namun kondisi ini diyakini memberi peluang bagi Indonesia untuk bangkit dari kinerja perdagangan yang minus dalam beberapa tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, kinerja perdagangan Februari 2017 diwarnai oleh anjloknya angka ekspor sejumlah komoditas unggulan seperti CPO, minyak mentah, dan tembaga. CPO misalnya, tercatat jatuh hingga 200,7 juta dolar AS, dari Januari ke Februari 2017.

Sementara ekspor bahan bakar mineral anjlok hingga 17,91 persen atau 300,6 juta dolar AS. Sedangkan ekspor tembaga, termasuk konsentratnya, mengalami penurunan hingga 42,3 persen di Februari 2017, dengan nilai 69 juta dolar AS. Penurunan ekspor tembaga bertepatan dengan berhentinya ekspor konsentrat tembaga oleh PT Freeport Indonesia, akibat belum disepakatinya perubahan status kontrak.

Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, membaiknya harga CPO memang memberikan pengaruh terhadap permintaan CPO dari India. Turunnya permintaan CPO dari India dikompensasikan oleh tingginya permintaan dari Pakistan. Namun tetap saja, kombinasi dari dinamika harga CPO dan permintaan pasar membuat ekspor CPO Indonesia merosot di Februari 2017 ini.

"Januari itu naik tinggi tapi pada saat itu lebih kepada inventory apalagi di awal tahun kalau sekarang lebih kepada supply dan demand yang lebih normal sehingga kita lihat Maret ini situasinya," ujar Sasmito ditemui di Kantor Pusat BPS, rabu (15/3).

Sasmito memandang, untuk melihat tren kinerja perdagangan hingga tengah tahun perlu ditunggu hasil kinerja perdagangan Maret 2017 mendatang. Menurutnya, komoditas yang berperan belum akan bervariasi. Namun, secara umum ia melihat ada harapan perbaikan kinerja perdagangan dari negara-negara anggota IORA.

Negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika dianggap menjadi pasar potensial bagi Indonesia dalam melakukan diversifikasi pasar ekspor. "Kemudian seperti negara yang variasinya kurang di mana produk kita belum banyak tersebar," katanya.

Sementara itu, Peneliti INDEF Bhima Yudhistira memandang bahwa kinerja perdagangan yang surplus saat ini sebetulnya tak jauh beda dengan kondisi tahun lalu. Bhima menggunakan istilah 'surplus' semu lantaran angka impor turun lebih tajam dibanding penurunan ekspor.

Hasilnya, ruang surplus pun tercipta. Belum lagi, lanjutnya, impor bahan baku yang terus menurun dan impor barang modal yang anjlok memberi gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi belum efektif. "Industri pengolahan masih lesu. Sayangnya juga kalau kita bergantung sama harga komoditas untuk dongkrak ekspor agak riskan," ujar Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement