Jumat 10 Mar 2017 21:11 WIB

Sejuta Rumah, Sejuta Mimpi dan Ingatan

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Dwi Murdaningsih
Sukroni di depan rumahnya.
Foto: republika/mas alamil huda
Sukroni di depan rumahnya.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Senyum lelaki berperawakan gempal itu merekah. Orangnya memang murah senyum. Tapi senyumnya di Kamis (9/3) senja itu berbeda. Senyum penuh kesyukuran atas rumah sederhana yang dihuninya.

"Alhamdulillah, sudah menempati rumah sendiri, Mas," katanya di teras rumah kepada Republika.co.id di Perumahan Ambar Waringin Jaya, Kelurahan Waringin Jaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor.

Sukroni nama lelaki itu. Keinginan dan mimpinya memiliki rumah sendiri terwujud di usianya yang terhitung tak bisa dibilang muda. 39 tahun usianya kini. Tapi, mimpinya untuk memiliki rumah sendiri di tanah perantauan kini tertunai.

Bekerja sebagai penjaga parkir gate di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Barat, pendapatan Sukroni tentu pas-pasan. Kenaikan gaji hanya mengikuti dinamika upah minimum provinsi (UMP) DKI. Tapi, 18 tahun dia istiqomah menekuni profesinya.

Sedikit demi sedikit gaji bulanannya ia sisihkan. Segala keinginan yang tak terlalu perlu, ia kekang. Kehidupan berliku yang dijalaninya bersama sang istri, Dini Wahyuni (33 tahun) di Ibu Kota selama belasan tahun, akhirnya berbuah manis dengan kepemilikan rumah sederhana.

Semua berawal dari tahun 2015. Sejak program sejuta rumah disosialisasikan masif, ia mencari informasi. Selama ini, lelaki kelahiran Nganjuk, Jawa Timur itu tak terpikir untuk memberi rumah hunian komersial. Kenaikan harga rumah setiap tahunnya tak sebanding dengan pendapatan yang diterimanya. Uang yang ditabungnya tak menjangkau itu semua. Hingga ia memberanikan diri bertanya ke Bank Tabungan Negara (BTN) di daerah tempatnya mengontrak bersama istri, di Ciputat, Tangerang Selatan.

"Saya ingat waktu ngobrol-ngobrol sama teman, KPR perumahan bersubsidi bagian dari program sejuta rumah, itu banyak dari BTN. Saya cari informasinya di internet dan tanya juga langsung ke BTN dan berharap mudah-mudahan tabungan saya cukup untuk uang muka," ujar dia.

Sukroni belum menemukan lokasi rumah perumahan bersubsidi yang akan dia pilih. Tapi, penjelasan dari pihak BTN memompa harapannya untuk mewujudkan mimpi memiliki rumah sendiri. Berbagai persyaratan baku untuk bisa mendapat perumahan bersubsidi ini cocok dengan dirinya. Mulai dari pendapatan tak lebih dari Rp 4 juta hingga persyaratan administrasi lainnya.

Program kerjasama BTN dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini membuat mimpi Sukroni dan istri untuk memiliki rumah sendiri semakin mendekati kenyataan. Suku bunga rendah atau hanya 5 persen, cicilan ringan dan tetap sepanjang jangka waktu kredit, membuat dia semakin yakin mengambil KPR BTN Subsidi.

Berbagai pameran penjualan properti ia datangi. Beberapa pembangunan perumahan bersubsidi ia lihat bersama istri. Hingga pilihannya itu jatuh di daerah Bojong Gede. Sebuah perumahan bersubsidi dari program sejuta rumah dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bekerjasama dengan BTN.

Sukroni mengambil uang tabungannya Rp 1 juta untuk booking fee. Persyaratan administrasi dia lengkapi. Uang muka dan biaya lainnya ia lunasi dari uang tabungan yang ia kumpulkan selama belasan tahun itu. Sampai pada waktunya, BTN menyetujui pengajuan kredit darinya untuk jangka waktu 15 tahun.

Dia teken akad kredit di BTN Cabang Bogor bersama Dini, istrinya, sebagai legalitas perjanjian untuk saling memenuhi hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima kredit. Tapi lebih dari itu, bagi Sukroni, ini adalah satu peristiwa penting dalam hidupnya, yakni telah sah memiliki rumah.

Kini Sukroni telah menghuni rumah sederhana berukuran 22/60, 22 meter persegi bangunan dan 60 meter persegi tanahnya. Tempat kerjanya yang tak bisa dibilang dekat, ia tempuh setiap hari dari tempat ia tinggal, di Perumahan Ambar Waringin Jaya, Bojong Gede. Perjalanan selama dua jam menggunakan motor ia jalani.

Sulit dibayangkan betapa lelahnya. Tapi, kata Sukroni, lelah itu terbayar dengan sebuah kepuasan. Kepuasan status rumah yang ditinggalinya adalah milik pribadi, bukan ngontrak. "Kalau sore begini saya biasanya iseng sering lihat itu, Mas. Dan selalu teringat-ingat dengan gambar-gambar itu," ujar dia tiba-tiba dengan menunjuk sebuah benda.

Matanya dan telunjuknya tertuju pada sebuah papan plastik yang tertempel di dinding depan rumahnya. Papan plastik itu berukuran 20x15 cm. Separuh bagiannya yang atas, berwarna biru bertuliskan KPR Bersubsidi Pemerintah Republik Indonesia. Separuhnya, di bagian bawah, terbagi menjadi tiga kotak.

Sebelah kiri terpampang jelas logo  dan tulisan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bagian tengah tertulis C1/07 yang menunjukkan alamat blok rumahnya. Sementara di bagian paling kanan adalah logo bank pemberi KPR subsidi, dengan strip merah di bawah tulisan 'BTN'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement