REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Darurat ketergantungan terhadap beras dinilai merupakan masalah serius. Tetapi, segala upaya pemerintah dalam mempertahankan swasembada beras sejauh ini dinilai bukanlah solusi yang tepat, karena ketersediaan beras yang melimpah membuat masyarakat hanya mampu menjadikan beras sebagai pilihan.
Saat ini muncul pertanyaan bagaimana langkah strategis dalam mewujudkan diversifikasi pangan sebagai solusi dalam membangun pertanian yang berkelanjutan tanpa menjadikan pangan sebagai beban ekonomi? Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Manuntun Parulian Hutagaol, usaha pemerintah dalam menyediakan subsidi pupuk sebagai bentuk meringankan biaya produksi petani ternyata bukanlah solusi yang tepat.
Sebab harga gabah tetaplah rendah karena petani membutuhkan uang cepat agar bisa mengirigasikan air dan mempersiapkan semua kebutuhan untuk bertani kembali. Itulah sebabnya, kata dia, jika pemerintah hanya bertumpu pada swasembada beras, maka akan sulit menciptakan pertanian yang berkelanjutan karena sumberdaya alam (SDA) yang ada sudah terbatas. Belum lagi lahan sawah yang terus berkurang di saat permintaan beras terus meningkat.
Selain itu kondisi tanah yang ada di Pulau Jawa juga sudah tidak mampu lagi menyerap air karena pemupukan yang terus-menerus. "Langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan memberhentikan swasembada beras. Bukan berarti berhenti memproduksi beras melainkan mengurangi produksinya dengan cara menggantinya dengan jenis pangan karbohidrat non-beras. Namun, diversifikasi pangan tidak akan pernah terwujud jika dijalankan bersamaan dengan swasembada beras, karena masyarakat pasti akan memilih yang ketersediaannya lebih banyak," ujar Manuntun.
Di situlah, menurut dia, pentingnya peranan para pengusaha dan masyarakat dalam mewujudkan diversifikasi pangan dalam mendorong pembangunan nasional yang mampu berorientasi menjadi pasar ekspor.