Jumat 10 Mar 2017 16:20 WIB

Senang Akhirnya Bisa Memiliki Rumah Sendiri

  Pengunjung mengamati maket perumahan yang ditawarkan Bank Tabungan Negara (BTN)
Foto: REPUBLIKA
Pengunjung mengamati maket perumahan yang ditawarkan Bank Tabungan Negara (BTN)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Mimpi Muhammad Ikhsan (34 tahun) memiliki rumah sendiri akhirnya terkabul. Sekitar enam tahun lalu, ia akhirnya menemukan rumah idamannya di kawasan Cibinong, Bogor. Sebelumnya, Ikhsan tidak pernah menyangka bisa mencicil kredit kepemilikan rumah (KPR) di Jabodetabek. Hal itu lantaran gaji yang diterimanya saat bekerja di perusahaan swasta di Jakarta terbilang tidak terlalu besar, meski di atas upah minimum provinsi (UMP). Di sisi lain, ia juga sudah bosan mengontrak lantaran sudah berstatus sebagai kepala keluarga.

Ikhsan mengatakan, pada awalnya ia cukup kesulitan ketika sedang berburu rumah di kawasan Depok hingga perbatasan Bogor. Dia memang mengincar rumah di lokasi yang jauh dari Jakarta untuk mendapatkan harga terjangkau. Kesabarannya mengikuti pameran dan rutin melakukan survei setiap akhir pekan membuahkan hasil manis. 

Keberuntungan seolah menghampirinya setelah Ikhsan menemukan lokasi perumahan yang disubsidi pemerintah. Meski terbilang masuk kategori rumah sangat sederhana (RSS), Ikhsan bersyukur bisa membeli rumah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Menurut Ikhsan, perumahan yang dibelinya itu hanya bekerja sama dengan Bank Tabungan Negara (BTN). Dia malah senang dengan aturan tersebut karena tidak lagi dipusingkan untuk memilih bank mana yang siap membiayai kredit yang diajukannya. "Saya beli FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) BTN di Perumahan Taman Cibinong Asri tahun 2011. Saya beli rumah tipe 22/72, ini rumah subsidi. Saya tak milih bank, karena kerja sama dengan BTN. Tapi, saya cocok," ujar Ikhsan mengisahkan pengalamannya, belum lama ini.

Ikhsan yang sejak tiga tahun lalu menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merasa bersyukur setelah tempat kerjanya kini juga di Cibinong. Dia tidak lagi harus merasakan kemacetan seperti dulu kala bekerja di Jakarta, dan bisa sampai ke tempat kerja dengan waktu tidak lebih 10 menit. Kondisi itu membuat Ikhsan bisa menyisihkan pengeluarannya untuk membayar cicilan rumah.

Ikhsan menuturkan, bisa mendapatkan rumah subsidi jelas anugerah bagi keluarganya. Kini ia, istri, dan anaknya bisa merasakan nikmatnya tinggal di rumah sendiri. Meski masih harus membayar cicilan per bulan, Ikhsan menganggap hal itu tak sampai memberatkannya. Pasalnya, cicilan rumah subsidi memang sangat membantu baginya yang dulu memiliki penghasilan pas-pasan.

"Cicilan rumah saya flat Rp 696 ribu per bulan selama 15 tahun. Bisa beli rumah di Jabodetabek harga segitu jelas menolong masyarakat seperti saya untuk memiliki rumah sendiri," ujar Ikhsan.

Meski tinggal di rumah berukuran 'sempit', laki-laki berputri satu ini tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Dia mengatakan, dengan memiliki rumah sendiri, salah satu beban yang disandangnya telah berlalu. Hal itu lantaran masih banyak para pekerja lain yang belum sanggup membeli rumah.

Ikhsan melanjutkan, seiring berjalannya waktu, rumah yang ditempatinya dipugar menggunakan uang hasil tabungannya. Karena luas lahan rumahnya mencapai 72 meter persegi (m2), ia masih bisa merenovasi tempat tinggalnya. "Jadi sekarang lebih luas, sedikit demi sedikit dibangun dan menjadi rumah yang nyaman ditinggali keluarga," kata Ikhsan.

Pengalaman lain dikisahkan Dyah Novia yang lima tahun lalu membeli rumah di kawasan Bantul. Perempuan asal Yogyakarta yang bekerja di Jakarta ini memang memiliki tekad untuk membeli rumah, sebelum menikah. Meski begitu, kebingungan melandanya ketika ingin membeli rumah menggunakan fasilitas KPR. Menurut Dyah, membeli rumah tanpa punya informasi yang cukup menjadi pengalaman menegangkan baginya. Bagaimana tidak? Kala itu, hasil tabungannya bekerja selama lima tahun di Ibu Kota, harus berpindah tangan ke pengembang untuk pembelian rumah. 

Setelah melakukan survei dengan saudaranya, Dyah akhirnya yakin untuk membeli salah satu rumah di Perumahan Kavling Teletubbies pada 2012. Dia pun memilih tipe 36/90 lantaran menyesuaikan tabungannya untuk dijadikan uang muka (DP) sebesar 30 persen. Dyah sengaja tidak membeli rumah subsidi karena merasa tak ingin mengambil kesempatan mendapatkan harga murah, yang bukan haknya.

Dia menuturkan, keputusan membeli rumah di daerah Sleman lantaran harganya masih terjangkau dibandingkan dengan harga rumah di Yogyakarta, yang naik gila-gilaan. Meski statusnya masih single, Dyah memutuskan untuk membeli rumah dengan pertimbangan harganya yang terus melaju setiap tahunnya. Dyah merasa kalau uangnya ditabung terus malah nanti tidak mengejar kenaikan harga rumah. "Alhamdulillah rumah ukuran 36 m2 dibangun (pengembang menjadi) 40 m2," ujarnya.

Masalah Dyah selanjutnya adalah memilih bank yang mau membiayai KPR. Dia merasa kurang mendapat referensi bank apa yang akan dipilihnya. Bertanya ke saudara dan teman-temannya, Dyah mendapat jawaban beragam yang membuatnya malah bingung. Akhirnya setelah merasa mendapatkan informasi dan referensi cukup, Dyah memutuskan memilih bank yang selama ini identik membiayai KPR, yaitu BTN. Setelah direstui orang tuanya, Dyah mantap mengajukan ke bank plat merah yang identik dengan pembiayaan rumah.

"Akhirnya pilih kredit bayar Rp 2,2 juta per bulan ke BTN, masih 10 tahun lagi. Saya pilih BTN Yogya. Saya mengurusnya cepat asal syaratnya dilengkapi. Saya pilih BTN karena memang selama ini concern soal pembiayaan rumah. Karena mereka (BTN) memang terkenal dengan KRP-nya gitu sich," kata lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Dyah menambahkan, pengalaman berbeda dirasakannya kini setelah memiliki rumah, yaitu ia tidak lagi kepikiran seperti dulu lagi, kala belum mempunyai rumah sendiri. Dia juga menganggap keputusannya memindahkan tabungan sebagai DP rumah sangat tepat lantaran harga kavling rumah di kawasan itu sudah naik dengan cepat.

Solusi sejuta rumah

Badan Pusat Statistik pada awal Januari lalu melansir, 48,91 persen penduduk Jakarta tidak mempunyai tempat tinggal milik sendiri. Kalau saja penduduk Jakarta sebanyak 10 juta, berarti ada 4,89 juta warga yang masih mengontrak atau menyewa. Secara nasional, ada sekitar 13,5 keluarga yang belum mempunyai rumah. Rata-rata mereka tidak bisa memiliki akses untuk mendapatkan cicilan dari bank.

Untuk mengatasi backlog jutaan warga yang belum mempunyai rumah, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) meluncurkan program sejuta rumah, khususnya bagi MBR. BTN merupakan salah satu bank yang ditunjuk untuk menyalurkan rumah subsidi bagi warga kelas menengah ke bawah. Sayangnya, Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang ditunjuk tak sanggup memenuhi target.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, rumah yang dapat dipenuhi pemerintah hanya sekitar 400 ribu hingga 500 ribu unit pada tahun lalu. Padahal, pihaknya sempat menetapkan target pembangunan rumah untuk MBR sebanyak 700 ribu unit dan rumah non-MBR 300 ribu unit. Karena itu, negara perlu melakukan percepatan penyediaan rumah sebagai solusi supaya masyarakat yang masih mengontrak atau sewa bisa memiliki tempat tinggal sendiri. “Masih ada kekurangan sebesar 400 ribu ribu unit lagi setiap tahunnya. Kalau tidak diatasi maka backlog-nya akan semakin tinggi,” kata Basuki, belum lama ini.

Maurin Sitorus yang baru saja pensiun sebagai Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR mengatakan, APBN menganggarkan Rp 9,2 triliun untuk pembangunan rumah sekitar 700 ribu unit. Maurin mengutip data, sebanyak 40 persen penduduk Indonesia masih dalam kategori MBR dan perlu mendapatkan subsidi untuk bisa memiliki rumah pertama. 

Dengan penyediaan KPR Subsidi (FLPP), diharapkan kebijakan itu dapat membantu mereka dalam kepemilikan rumah. "Rumah jadi kewajiban negara, tapi kita harus efektif, 40 persen penduduk kita masih MBR, inilah yang harus kita dukung," ujarnya.

Untuk menjaga daya beli MBR, Kementerian PUPR salah satunya menggunakan skema KPR Subsidi. Dengan subsidi tersebut, MBR mendapatkan bunga rendah, yaitu lima persen dibandingkan bunga pasar yang berkisar sembilan sampai 13 persen. Bunga lima persen tersebut berlaku tetap hingga jangka waktu 20 tahun.

Maurin menerangkan, sebagai ilustrasi sebuah rumah subsidi dijual sebesar Rp 110,5 juta, setelah mendapatkan bunga lima persen selama 20 tahun, angsuran yang dibayar masyarakat per bulannya sebesar Rp 722 ribu atau lebih kecil dibandingkan bila menggunakan bunga pasar dengan angsuran yang harus dibayar sebesar Rp 1,281 juta.

Direktur Utama BTN, Maryono mengatakan, selama 40 tahun, instansinya telah menyalurkan KPR  untuk lebih 3,77 juta unit rumah dengan nilai kredit sebesar Rp 178 triliun di seluruh Indonesia. Dia menuturkan, BTN konsisten berkontribusi di berbagai program pemerintah untuk menyediakan rumah bagi seluruh segmen masyarakat.

Dalam perjalanannya,  BTN ikut andil dalam program pembiayaan rumah yang diprakarsai pemerintah terutama program KPR Subsidi. Berdasarkan data Kementerian PUPR pada 2016, pangsa pasarnya BTN di KPR Subsidi sebesar 97 persen. Sebagai penguasa pasar, sejak tahun 1976 hingga September 2016 Bank BTN telah mengucurkan KPR Subsidi untuk 2,9 juta unit rumah dengan total kredit mencapai Rp 84,8 triliun. 

Maryono menjelaskan, pada 2017, sesuai dengan amanat pemerintah untuk program rumah bagi MBR, BTN akan menguji coba skim KPR bagi pekerja informal dan MBR. “Kami harap dengan makin banyaknya pengembang yang bekerja sama dengan Bank BTN, program sejuta rumah bisa lebih cepat yang terealisasi untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat luas,” kata Maryono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement