Senin 06 Mar 2017 13:38 WIB

Pasca-Brexit, Mengapa Miliarder Tetap Membanjiri London?

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Orang kaya raya (ilustrasi)
Foto: spdi.eu
Orang kaya raya (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Jumlah penduduk kaya di London diperkirakan akan melonjak hingga 30 persen di tahun 2026. Fenomena ini justru bertolak belakang dengan keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa yang diyakini malah membuat pamor London sebagai pusat bisnis menurun.

Namun, ternyata Brexit tak cukup untuk membuat para miliarder hengkang dari ibukota Inggris tersebut. Dikutip dari Bloomberg, kepala peneliti New World Wealth Andrew Amoils menyebutkan bahwa London masih memberikan optimisme bagi para investor untuk dijadikan sebagai markas atau kantor pusat unit-unit usaha skala global.

Broker properti Knight Frank LLP juga memproyeksikan hal serupa: orang-orang kaya terus berduyun-duyun ke London, meski kekhawatiran politik dan ekonomi pasca-Brexit masih menggelayut. Knight Frank LLP melihat, jumlah miliarder yang tinggal di London akan naik 30 persen menjadi 6.058 orang hingga tahun 2026.

Miliarder yang dimaksud adalah orang-orang yang paling tidak memiliki tabungan hingga 30 juta dolar AS atau setara dengan Rp 400,7 miliar di satu rekening bank seperti UBS Group AG dan Citigroup Inc. Tentu saja, rekening mereka bisa jadi lebih dari satu di sejumlah bank sekaligus.

Proyeksi ini paling tidak bisa memperbaiki keraguan soal daya tarik London sebagai puat bisnis. Bahkan, pengajuan aplikasi visa investor di London sepanjang tahun lalu hanya mencatatkan 215 orang kaya saja yang menerimanya. Angka ini merosot hingga 80 persen dalam pengajuan visa investor tahun sebelumnya.

Sementara itu, New York masih mempertahankan posisi teratas sebagai kota paling diminati oleh para miliarder. Keyakinan atas pertumbuhan ekonomi AS memberikan poin lebih bagi kota New York dalam menggaet orang-orang kaya.

"Brexit tak akan mengakibatkan keluarnya orang-orang kaya dari Inggris," ujar Amoils dalam laporannya.

"Sebaliknya, miliarder yang sudah menetap akan tetap tinggal, dan ditambah dengan pendatang miliarder baru," ujar Amoils menambahkan.

Ia menuturkan, pendatang baru London masih memandang London sebagai pusat bisnis dan jasa keuangan di Eropa. Apalagi, Inggris dipadang sebagai satu-satunya kawasan di Eropa yang masih menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu dalam seluruh aktivitas bisnis.

Bahkan, hubungan dengan AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru juga akan meningkat pasca-Brexit. Namun, Knight Frank mencatat, London masih bertengger di peringkat ke-92 dalam hal kinerja penjualan perumahan.

Harga properti di London sempat melorot 6,3 persen di tahun 2016. Alasannya, sejumlah perubahan kebijakan pajak membuat harga yang ditawarkan ikut merosot. Hal ini sebetulnya sempat membuat volume penjualan perumahan meningkat dan sentimen pasar membaik di akhir tahun.

Harga properti di London diprediksi akan tetap sama di tahun 2017, sementara di Shanghai dan Sydney mengalami peningkatan. Laporan tersebut juga menyebutkan, jumlah individu dengan tingkat kekayaan ultra tinggi telah tembus 193 ribu di tahun 2016 di seluruh dunia.

Kenaikan ini didukung oleh keuntungan yang didapat di pasar saham. Angka ini akan melonjak hingga 275 ribu di tahun 2026 dengan lokasi terpesat di Vietnam, Sri Lanka, India, dan Cina.

Sementara Cina, dalam laporan tersebut disebutkan kalau pertumbuhan jumlah miliarder akan meningkat pesat berkat perusahaan raksasa seperti Huawei Technologies. Sedangkan kota-kota di Asia lainnya, pertambahan jumlah konglomerat dipimpin oleh Pune, Ho Chi Minh, Hyderabad, dan Bangalore.

Kota-kota tersebut akan mengelami pertumbuhan jumlah orang kaya terpesat di Asia dalam 10 tahun ke depan. Pada saat yang sama, Mumbai di India diperkirakan akan menyejajarkan posisinya dengan Shanghai, Beijing, Singapura, dan Hong Kong sebagai deretan kota dengan jumlah konglomerat terbanyak di Asia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement