REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengharapkan holding atau induk badan usaha milik negara dapat terbentuk pada 2017 untuk segera mensinergikan perusahaan-perusahaan sejenis agar lebih efisien.
"Saya belum tahu schedule-nya, tapi kami harapkan tahun ini," kata Wapres di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (10/2).
Menurut Wapres, sistem holding bukan hal baru di BUMN karena sebelumnya telah dilakukan beberapa perusahaan antara lain di industri semen yakni PT Semen Indonesia membawahi tiga hingga empat pabrik semen lain. Namun, JK menambahkan, jenis-jenis perusahaan di bidang keuangan dan energi lebih luas sehingga diperlukan restrukturisasi keorganisasian. "Proses ini memang lebih luas lagi di bidang keuangan, atau energi, jadi dibutuhkan restrukturisasi dan keorganisasian, dan persetujuan DPR," kata dia.
Kementerian Keuangan tengah mengajukan penyempurnaan regulasi pembentukan holding BUMN kepada DPR yang saat ini diatur melalui PP Nomor 44 Tahun 2005 dengan PP Nomor 72 Tahun 2016. Sebelumnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR pada 8 Februari 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Inderawati mengatakan PP Nomor 72 Tahun 2016 tidak mengganti dan tidak mensubstitusi, tetapi menyempurnakan PP Nomor 44 Tahun 2005. Nantinya, seluruh pasal dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 tetap berlaku dan tidak mengalami perubahan di PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain pengalihan (inbreng) saham BUMN dalam rangka pembentukan holding BUMN tidak lagi melalui mekanisme APBN karena mekanisme tersebut sudah dilakukan saat pembentukan sehingga status kekayaan negara dipisahkan. Penyempurnaan lainnya, PP 72/2016 akan menegaskan hak DPR untuk mengawasi badan usaha negara karena pemerintah tetap meminta persetujuan jika anak perusahaan eks-BUMN akan dijual. PP 72/2016 juga akan menjamin pemerintah tetap memiliki kontrol terhadap anak perusahaan eks BUMN melalui saham dwiwarna (kepemilikan satu saham) dan BUMN induk wajib memiliki mayoritas saham lebih dari 50 persen.