REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia terancam gagal mendapatkan klaim ganti rugi atas tercemarnya Pantai Nongsa, Batam, oleh tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tanker di Johor, Malaysia awal Januari lalu. Hal ini karena pemerintah telah kehilangan barang bukti berupa tumpahan minyak di kawasan Pantai Nongsa yang akan dijadikan sampel untuk mengklaim dana ganti rugi itu.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno menjelaskan, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Dewan Selat Malaka (Malacca Strait Council) memiliki kesepakatan mengenai mekanisme penanganan bersama tiga negara terhadap polusi minyak yang disebabkan oleh kegiatan kapal atau kecelakaan kapal di wilayah Selat Malaka dan Singapura. Dalam kesepakatan yang dibuat pada 1981 itu tercantum mengenai dana trust fund atau dana perwalian yang disediakan khusus untuk penanggulangan dampak limbah tumpahan minyak dari kapal.
Oleh karenanya, sambung Havas, pemerintah bermaksud mengklaim dana tersebut dari Revolving Fund Committee sebagai pihak yang mengelola trust fund untuk menangani masalah minyak di Pantai Nongsa. Namun, upaya mendapat dana ganti rugi terkendala oleh ketiadaan barang bukti. Menurut Havas, penduduk sekitar Pantai Nongsa langsung membersihkan tumpahan minyak dengan sekop tanpa memberikan informasi kepada pemerintah pusat.
"Sementara Malaysia dan Singapura langsung menjalankan prosedur penanganan sesuai yang diatur oleh Revolving Fund Committee sehingga mereka saat ini sudah mendapatkan dana untuk penanggulangan tumpahan minyak dari kecelakaan kapal di Johor," kata Havas, melalui keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis (9/2).
Berkaca dari peristiwa itu, pemerintah langsung melakukan sosialisasi mengenai prosedur penanganan tumpahan minyak di laut di kantor Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman. Dalam acara sosialisasi yang dihadiri para stakeholder terkait ini ditemukan fakta bahwa tumpahan minyak pada saat itu ditangani oleh badan lingkungan hidup bersama nelayan di sekitar Pantai Nongsa, Batam.
Salah seorang perwakilan dari Badan Lingkungan Hidup Kota Batam yang hadir dalam acara tersebut mengaku bahwa pihaknya tidak mengetahui tentang prosedur penanganan tumpahan minyak seperti yang diatur oleh Revolving Fund Committee. Selain itu, ia menyebut pihaknya langsung membersihkan tumpahan minyak sebab khawatir bila limbah tidak segera ditangani akan berdampak buruk pada nelayan yang berada di Pantai Nongsa.
Indonesia sebenarnya telah memiliki Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109/2006 yang mengatur penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut. Peraturan tersebut merupakan implementasi dari Undang Undang Nomor 17/1985 tentang pengesahan ratifikasi konvensi UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea).
Namun demikian, Perpres itu digunakan untuk menangani dampak kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, serta kegiatan lainnya yang mengandung risiko terjadinya kecelakaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di dalam negeri.