REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat adanya penurunan daya beli masyarakat sejak 2016. Hal ini kemudian berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah dinilai harus bisa mencari formula untuk memperbaiki daya beli masyarakat untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 5,02 pada tahun ini.
Peneliti INDEF Abdul Manap mengatakan penurunan daya beli masyarakat salah satunya oleh adanya inflasi. Inflasi di beberapa daerah mempengaruhi pola konsumsi, produksi dan juga membengkaknya pembiayaan. Dia menjelaskan, inflasi menyebabkan menurunnya konsumsi di masyarakat sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
Tercatat, pada Desember 2016, pertumbuhan upah nominal hanya 3,47 persen. Angka ini menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,49 persen. Karena itu, pada Desember 2016 tercatat, inflasi barang bergejolak menginjak 5,92 persen.
"Jadi, daya beli kan terkait inflasi, inflasi kita rendah, sekarang tiga persen. Tapi, itu yang headline, kalau dibelah lagi, inflasi ada tiga, yaitu inti, volatile food, dan inflasi harga yang diatur pemerintah. Sekarang yang bermasalah kan di inflasi harga pangan, artinya orang mau ngapa-ngapain kalau harganya mahal tidak bisa beraktivitas dengan baik dengan adanya masalah ini, artinya pemerintah tidak bisa menjaga ketersediaan pangan dan daya beli masyarakat," ujar Abdul, Kamis (8/2).
Pada tahun ini, Abdul memproyeksikan tidak ada guncangan dalam daya beli masyarakat. Hal ini karena adanya kenaikan harga komoditas dan minyak. Harga minyak yang meningkat akan mempengaruhi harga nilai tukar.
Ia menilai, jika tidak ada perbaikan dari pemerintah, maka tidak akan ada perbaikan dalam konsumsi masyarakat. Hal ini nantinya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah.
"Jika ingin daya beli masyarakat membaik, sasarlah dari sisi bahan makanan dulu, masalah distribusi, infrastruktur dan masalah energi atau barang yang diatur oleh pemerintah," ujarnya.