REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi pertumbuhan kredit pada 2016 dinilai masih lemah terutama untuk kredit valuta asing (valas). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, tahun lalu kredit tumbuh 7,87 persen, dari angka tersebut kredit rupiah tumbuh 9,15 persen dan kredit valas hanya tumbuh 0,92 persen.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, kredit valas melemah pada 2016 karena Indonesia sebelumnya banyak masuk ke sektor komoditas. Hanya saja, memasuki 2015 sampai 2016, para pengusaha mulai mengurangi ekspansi sebab khawatir ada peningkatan risiko global.
"Peningkatan risiko global dikhawatirkan ada dampak pada kurs, jadi mereka mengurangi kredit valas," ujar David, kepada Republika, Ahad, (5/2). Meski begitu, ia yakin kredit valas akan naik tahun ini meski tak signifikan.
Hal itu karena pada semester pertama 2017 kondisi global masih belum jelas. Menjelang 100 hari pertama Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjabat pun kebijakannya masih ada ketidakpastian, sehingga David menilai masih banyak pula risiko.
"Risiko di Eropa yaitu Pemilu Prancis, lalu risiko domestik ketidakpastian pilkada (pemilihan kepada daerah), ada sekitar 101 Pilkada digelar. Lalu kekhawatiran inflasi, membuat orang masih wait and see," kata dia.
Ia menambahkan, kenaikan tarif listrik yang rencananya akan terjadi setiap tiga bulan juga menimbulkan kekhawatiran. Kendati demikian, David yakin seiring pertumbuhan ekonomi yang terus membaik, minat swasta melakukan kredit valas juga akan meningkat.
"Target kredit tahun ini kan keseluruhan 10 sampai 12 persen. Kemungkinan kredit rupiah masih mendominasi, untuk kredit valas mungkin ke arah dua sampai lima persen," ujar David.
Menurut dia, beberapa sektor yang akan banyak mengambil kredit valas tahun ini, di antaranya infrastruktur, kosumsi, komunitas, dan komoditas.
"Saya pikir yang banyak masih terkait infrastruktur, pemerintah banyak proyek infrastruktur baru. Lalu konsumsi, dan terkait komunikasi. Lainnya seperti komoditas, karena harga komoditas akan pulih walau belum sekuat dulu pada 2010 sampai 2014," ujarnya.