Sabtu 04 Feb 2017 13:48 WIB

70 Persen Ide Kreatif tak Bisa Jadi Inovasi Bisnis

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Petugas Telkom, menjelaskan layanan bundling telepon, internet dan IPTV atau Triple Play (3P) Indihome, di Plasa Telkom (Ilustrasi)
Foto: Antara/Fredy
Petugas Telkom, menjelaskan layanan bundling telepon, internet dan IPTV atau Triple Play (3P) Indihome, di Plasa Telkom (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Riset empiris menunjukkan 70 persen hingga 90 persen ide kreatif tidak dapat berubah menjadi inovasi bisnis. Hal ini terjadi, karena kelemahan ekosistem pendukung.

Menurut Pakar Manajemen Strategik yang juga Mentor Program Indigo.I'd, Didit Herawan, sangat penting bagi Indonesia membangun banyak inkubator bisnis dalam usaha menumbuhkan start up. Karenanya, program inkubator bisnis seperti Indigo.id itu seperti layaknya inkubator di rumah sakit yang membantu bayi untuk hidup.

"Inkubator bisnis membantu start up untuk dapat tumbuh berkembang menjadi bisnis besar karena memberi ekosistem inovasi bagi tumbuh dan berkembangnya start up," ujar Didit, Sabtu (4/2).

Didit mengatakan, pemerintah harus mendorong tumbuh kembangnya program seperti Indigo.I'd. Karena, ini bisa menjadi terobosan dan transformasi bagi bisnis banyak perusahaan mapan. Ia mencontohkan, PT Telkom dengan program inkubasi tersebut, maka melangkah lebih cepat dibanding perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dalam mendorong kewirausahaan dari segala penjuru, baik dari dalam korporasi maupun luar.

Di sisi lain, Indigo.id memiliki keunggulan sumber daya berupa jejaring bisnis Telkom di tingkat nasional maupun internasional. Sehingga, mencakup dalam sebuah ekosistem pendukung pertumbuhan start up.  "Trend dunia sudah mengarah digitalisasi di semua aspek kehidupan," katanya.

Jadi, kata dia, Indonesia harus terus mengikuti India yang telah melaju cepat dalam digitalisasi dan penyebarluasan Teknologi Informasi dan Komunikasi. (TIK). "Program inkubator relevan dengan visi pemerintah jadikan Indonesia ekonomi digital terbedar di Asean tahun 2020," kata alumnus doktoral manajemen UI ini.

Didit mengatakan, umumnya start up di Tanah Air sangat memerlukan mentor yang mudah dihubungi, memiliki wawasan luas, memiliki pengalaman panjang dalam bisnis, dan memiliki jejaring yang baik. Dengannya, dapat mengarahkan penyelesaian masalah dengan lebih komprehensif.

Selain itu, kata dia, usaha rintisan ini juga membutuhkan segera kemampuan mengenal ekosistem global yang lebih kondusif, bukan sekedar ekosistem lokal yang masih dirasa membatasi gerak star tup.  Budaya inovasi di negara maju sangat berbeda karena sangat memudahkan dibandingkan budaya dan lingkungan inovasi di Indonesia.

Peran teknologi internet, kata dia, membantu mempersempit jurang perbedaan. Sehingga pemanfaatannya harus menjadi bagian dari strategi pengembangan start up.

Didit berharap,  program inkubasi yang mulai ramai belakangan ini akan memunculkan lebih banyak startup dari kalangan muda terdidik di usia yang cukup dini (usia mahasiswa). Sekalipun, umumnya kurikulum perguruan tinggi masih belum sepenuhnya mendukung mahasiswa berwirausaha dan mandiri pada saat lulus.

"Lebih sering dirasakan kurikulum yang ada menjadi beban bagi mahasiswa yang terus mendapat tekanan dari orangtua dan dosen pengajar agar segera lulus dan mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement