REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar petani (NTP) yang mengukur kemampuan atau daya beli petani di perdesaan mengalami penurunan pada Januari 2017. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat NTP awal tahun ini sebesar 100,91 atau turun 0,56 persen dibandingkan NTP pada Desember 2016 lalu.
Angka NTP, yang juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi, tercatat mengalami penurunan tertinggi di Sulawesi Selatan (turun 1,7 persen). Sementara kenaikan NTP tertinggi dialami oleh Riau dengan kenaikan 0,69 persen. Penurunan NTP ini dipengaruhi oleh subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, dan peternakan yang semuanya mengalami penurunan.
Namun, meski NTP secara umum turun, nilai tukar nelayan (NTN) justru mengalami kenaikan. Angka NTN pada Januari 2017 tercatat naik 0,25 persen. Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Rabu (1/2) menjelaskan, kenaikan NTN ini disebabkan oleh naiknya harga komoditas ikan tenggiri dan ikan cakalang.
Sementara di sisi perkembangan harga produsen gabah dan beras di penggilingan, harga gabah kering panen di Januari 2017 mengalami kenaikan 2,83 persen ke posisi Rp 4.754 per kilogram (kg) di tingkat petani, dan Rp 4.844 per kg di level penggilingan. Sementara gabah kering giling di tingkat petani tercatat mengalami kenaikan 1,91 persen dengan harga Rp 5.542 per kg dan Rp 5.636 per kg di tingkat penggilingan.
Bila harga gabah mengalami kenaikan cukup signifikan, harga beras di penggilingan mengalami kenaikan tipis 0,96 persen menuju Rp 9.431 per kg. Begitu pula dengan harga beras kualitas medium yang naik tipis 0,34 persen dan beras kualitas rendah naik 0,13 persen. Suhariyanto menilai, fenomena ini menunjukkan bahwa harga yang diterima petani mengalami peningkatan sementara harga jual di level konsumen relatif tetap.
"Kenaikan harga di level petani naik 2,83 persen, grosir 0,9 persen, dan perkembangan harga di level eceran justru flat naik hanya 0,16 persen. Kalau ini bisa tercapai berarti apa yang diterima petani lebih tinggi, namun yang dibayar konsumen relatif sama," kata Suhariyanto.
Baca juga: Penyumbang Tertinggi Inflasi Bukan Lagi Harga Pangan