REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas/PPN) Bambang Brodjonegoro menyebutkan penggenjotan investasi di daerah menjadi salah satu kunci untuk menekan angka kemiskinan. Ia menjelaskan, investasi yang bisa tumbuh, akan sejalan dengan bertambahnya lapangan pekerjaan.
Artinya, jumlah pengangguran yang susut pada akhirnya akan berujung pada merosotnya angka kemiskinan. "Daerah itu butuh investasi. Mengapa? Karena daerah butuh lapangan kerja. Kemiskinan akan berkurang dan seterusnya. Cara pandang ini sederhana, namun esensial bagi pemimpin daerah," ujar Bambang di kantornya, Rabu (11/1).
Bambang juga mengingatkan pemimpin daerah untuk bisa memanfaatkan hibah dari luar negeri secara bijaksana. Keberadaan hibah ini, lanjut Bambang, sebetulnya bisa ikut mengurangi ketergantungan Pemda atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hanya saja, Bambang meminta Pemda agar selektif dalam membelanjakan hibah. Ia meminta Pemda untuk memanfaatkan dana hibah untuk program-program kerja yang berkesinambungan. Sehingga ketika dana hibah berhenti mengalir, Pemda masih sanggup melanjutkan programnya secara mandiri.
"Saya bayangkan kalau setiap daerah punya inovasi, ini bisa memudahkan tugas kita semua. Jangan sampai daerah yang punya kewajiban menyejahterakan masyarakat, malah melimpahkan sepenuhnya ke pusat. Tak sedikit daerah berharap pusat berikan anggaran dan buat program. Yang terpenting, daerah ikut terlibat untuk inovasi dan sejahterakan masyarakatnya," ujar Bambang di kantornya, Rabu (11/1).
Bambang menambahkan, pemerintah daerah harus mempertimbangkan kearifan lokal dan budaya setempat dalam melakukan inovasi di daerahnya. Dalam konteks otonomi daerah, lanjut Bambang, pengutamaan atas karakteristik lokal dalam melakukan inovasi bisa menjadi modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tak hanya, kreativitas seorang pimpinan daerah juga diyakini bisa membangun iklim kompetisi antardaerah.
Selain itu, Bambang juga mengingatkan kepala daerah untuk tak mengesampingkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di samping pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara masif. Alasannya, SDA yang berlimpah suatau saat tetap ada limitasi yang menahan pemanfaatannya bila tak diimbangi pengembangan manusia yang berkompeten.
"Kalau kita bicara soal inovasi, kita lihat dua hal, yakni SDA dan SDM. Bicara SDA tentu tak jadi keraguan bahwa Indonesia kaya, selalu jadi pertanyaan kenapa hanya SDA yang berlimpah, namun belum bisa menyejahterakan sebagian masyarakat kita,” ujar Bambang.
Apalagi, ia menilai bahwa SDA termasuk komoditas pertambangan, perkebunan, dan pertanian akan mengalami fluktuasi seiring dengan perkembangan permintaan dan pasokan di pasar dunia. Belajar dari pengalaman pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia di era 1970-an, Bambang melanjutkan, Indonesia sempat mengeruk keuntungan besar-besaran di sektor migas sejalan dengan lonjakan harga minyak dunia saat itu.
Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama hingga periode 1980-an saat harga minyak dunia anjlok. “Tetapi kemudian tahun 1980-an ketika tak ada isu embargo, mendadak pasokan lebih banyak dari permintaan sehingga sempat drop di bawah 10 dolar AS dan APBN saat itu tak sustain karena kekurangan sumber penerimaan," katanya.
Bambang menambahkan, surutnya penerimaan dari sektor migas saat itu membuat pemerintah melakukan reformasi pajak yang pertama. Hal ini juga mendorong kesadaran pemerintah untuk melakukan diversifikasi ekonomi. Tahun 1990-an Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang masa. Dari 1990-1997 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi enam sampai tujuh persen, didukung oleh manufaktur.