Rabu 11 Jan 2017 03:07 WIB

Keikhlasan Pemilik Rumah Makan Menghadapi Naiknya Harga Cabai

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Budi Raharjo
Cabai Merah
Foto: indonesian.cri.cn
Cabai Merah

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kenaikan harga cabai begitu menyita perhatian masyarakat. Terlebih di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dikenal memiliki cita rasa kuliner yang serba pedas.

Kurang lengkap rasanya jika makan dengan rasa yang tak pedas. Begitu kira-kira ungkapan sebagian besar masyarakat Lombok jika sudah berbicara soal makanan.

Ragam kuliner khas Lombok memang dikenal bercita rasa pedas mulai dari Ayam Taliwang, Nasi Puyung, Sate Bulayak hingga Nasi Balap yang begitu digemari warga lokal maupun wisatawan. Ada juga masakan dari daerah lain yang ikut meramaikan khazanah perkulineran di Lombok, seperti warung makan padang, yang memang ada di mana-mana.

Cita rasa masakan ala Minangkabau, Sumatra Barat, dirasa cocok dengan dengan lidah orang Lombok yang juga doyan pedas. Rumah Makan Asano misalnya. Rumah makan khas Padang yang berada di Jalan Cilinaya, Kota Mataram, ini merupakan salah satu rumah makan favorit bagi masyarakat sekitar.

Lokasinya yang tepat berada di sebelah Mal Mataram di kawasan perniagaan Cakranegara membuat rumah makan ini tak pernah sepi dari pengunjung. Sang Pemilik Rumah Makan Asano, Haji Erizal Lukman (61), merupakan pria asli Bukit Tinggi, Sumatra Barat.

Ia sudah 'kebal' dengan kenaikan harga cabai sejak melakoni usaha warung makan hingga kini. Sikapnya tegas, seberapa pun tingginya harga cabai, tidak membuatnya menaikkan harga masakannya atau mengurangi takaran cabai pada masakan.

Dia tak menampik dampak kenaikan harga cabai tentu akan mengurangi keuntungan secara finansial. Namun, niat awal kala memutuskan usaha ialah bagaimana bisa membantu orang lain dari sisi ini.

Dia bisa saja menaikkan harga masakan, namun akan semakin mencekik para pelanggan yang kebanyakan masyarakat kecil hingga menengah di Kota Mataram. Pun dengan mengurangi takaran yang akan berimbas pada cita rasa masakan yang ditawarkan.

Pengalamannya selama ini tidak pernah menaikkan harga masakan karena naiknya harga cabai. Paling-paling hanya setahun sekali. Soal takaran, dia selalu tegaskan kepada karyawannya untuk memberikan nasi dalam porsi yang lebih banyak dengan harga yang sama sebagai bagian dari sedekah.

"Saya enggak enak naikkan harga mendadak, saya tidak biasa begitu karena niat kita menolong, ada saja jalan yang Allah SWT berikan," ungkapnya.

Benar saja, keikhlasannya ini rupanya tak menyurutkan rejeki yang diterima, dengan banjirnya pesanan dari instansi pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat. Dia mengaku tak menyangka hal ini akan terjadi. Selain itu, kondisi pengunjung di warungnya sendiri pascakenaikan harga cabai tak  berdampak signifikan, dan relatif sama seperti hari biasanya.

Sebagai seorang Muslim, ia berkewajiban melakukan apapun yang ia bisa dalam menolong orang lain, termasuk dari sisi usaha kuliner ini. Dia juga memberikan sebuah keran air yang ditaruh di luar warung diakses masyarakat baik untuk kebutuhan wudhu, cuci piring, dan lain-lain. Dan, ini sudah berjalan sejak 1989 saat pertama kali dibuka.

Pria yang kini berdomisili di Monjok, Mataram, ini juga menerapkan konsep bagi hasil dalam menjalankan usahanya. Ada sekitar 13 tenaga kerja yang ia pekerjakan dengan fasilitas makan, minum, transportasi yang disediakan cuma-cuma hingga fasilitas BPJS.

Sistem bagi hasil dilakukan setiap 100 hari sekali, di mana dari keuntungan bersih, 50 persen untuknya selaku pemilik dan 50 persen sisanya bagi para karyawan dengan tingkatan yang berbeda tergantung jenis pekerjaan. Paling tinggi ialah tukang masak.

Dalam 100 hari, keuntungan bersih yang didapat rumah makannya bisa mencapai Rp 150 juta. Maka tak heran, ia katakan, jika tukang masak ditempatnya bisa mengantungi pemasukan hingga Rp 30 juta. "Insya Allah kalau niat baik selalu ada saja jalannya," tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement