REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Husnul Fauzi mengatakan kenaikan harga cabai di NTB tidak berkaitan langsung dengan stok ketersediaan cabai. Husnul menjelaskan, dari 5.800 hektare lahan pertanian cabai yang ada di NTB, produksi setahun mencapai Rp 105 ribu ton atau surplus dari kebutuhan di NTB yang tidak lebih dari 20 ribu ton per tahun.
Ia menerangkan, harga cabai di NTB pada dua hari yang lalu sebesar Rp 85 ribu per kilogram (kg), sedangkan sehari setelahnya merangkak naik menjadi Rp 95 ribu per kg. "Hari ini naik menjadi Rp 115 ribu per kg, ini suatu gejala pasar yang memang tidak terkait langsung dengan ketersediaan," ujarnya di Mataram, NTB, Selasa (10/1).
Jumlah sebesar 105 ribu ton ini merupakan produksi tertinggi yang dihasilkan NTB selama lima tahun terakhir. Dari 5.800 hektare luas lahan pertanian cabai, sekitar 90 persen atau 4.800 hektare berada di Kabupaten Lombok Timur seperti di Kawasan Sembalun, Suralaga, dan Masbagik.
Melihat kondisi yang ada, kisaran harga cabai antara 38 ribu per kg hingga 45 ribu per kg dinilai sebagai angka ideal baik bagi petani dan juga pedagang. Jika harga berada di atas itu rentan akan konflik dan psikologis masyarakat. "Angka tersebut sudah memenuhi keuntungan petani dan pedagang serta tidak memberatkan warga," lanjutnya.
Mengenai melambungnya harga cabai di pasar lokal saat ini, kata dia, bukan karena ketersediaan cabai di NTB, melainkan kondisi yang terjadi di luar NTB. Melonjaknya harga cabai di Pulau Jawa khususnya, membuat para pengepul memilih mengirimkan cabai ke Jawa, terutama Jakarta dengan alasan keuntungan lebih besar. Ia menyoroti perilaku pasar yang juga harus memprioritaskan pasar lokal sebelum mengirimkan ke luar daerah.
"Hanya kontinuitas (pasar lokal) yang harus dijaga, kalau ada permintaan Jakarta tidak terpenuhi oleh Jawa Timur, maka jangan pasar lokal ditinggal, perilaku itu harus perhatikan," kata dia.