REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengajak perusahaan-perusahaan BUMN untuk meningkatkan daya saing agar dapat memperbesar profit perusahaan. Dorongan tersebut dilakukan melalui kegiatan Business Sharing Session dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertajuk Emerging Business Model in Modern Supply Chain: Generating Revenue Stream, di Rektorat ITS, Jumat (6/1).
Ketua panitia acara, Arman Hakim Nasution, mengatakan, kegiatan ini merupakan kerjasama antara Kementerian BUMN yang diwakili oleh Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media dengan Direktorat Inovasi Kerjasama Kealumnian ITS dan Departemen Manajemen Bisnis ITS. "Dengan adanya kegiatan sharing session dengan para direksi dan komisaris BUMN dalam pemahaman business model yang benar, BUMN akan bisa lebih terarah dalam meningkatkan daya saingnya," kata dosen jurusan Manajemen Bisnis tersebut.
Oleh sebab itu, lanjut Arman, ITS yang sudah bersatus PTNBH harus siap menjadi partner bagi BUMN dalam mengembangkan kinerja ke depan. Pemilihan topik supply chain and business model dikarenakan supply chain sudah berkembang sepuluh tahun yang lalu, sedangkan business model baru lima tahun yang lalu. Forum diskusi tersebut merupakan perpaduan tiga sisi antara bisnis, pemerintah, dan akademisi.
Wakil Rektor IV ITS, Ketut Buda Artana mengungkapkan forum grup diskusi antar direktur BUMN dan komisaris BUMN tersebut diharapkan bisa menyelaraskan kegiatan-kegiata yang juga dilakukan ITS. “Direktorat Inovasi ITS bertugas menghubungkan antara ITS dengan industri, untuk sementara ini dengan BUMN. Sementara itu, BUMN punya program yaitu diskusi internal para direktur utama dan komisaris utama,” kata Guru Besar Teknik Sistem Perkapalan ITS tersebut.
Dengan memanfaatkan program SAME dari Dikti, ITS menawarkan pembicara yang cocok untuk kegiatan forum diskusi BUMN seputar supply chain. Program SAME dari Dikti tersebut membiayai profesor luar negeri untuk berkunjung dan bekerja sama dengan profesor di Indonesia. Sebaliknya, profesor di Indonesia juga dibiayai antara satu hingga dua bulan ke luar negeri untuk menjalani riset.
Dari kegiatan diskusi tersebut, lanjut Ketut, ITS akan menindaklanjuti dengan menghubungi masing-masing direksi BUMN termasuk Kementerian BUMN untuk mengadakan kerjasama dengan ITS. Jika setiap BUMN mengadakan Research and Development sendiri pastinya mengeluarkan biaya yang lebih besar. “Untuk itu, ITS akan mengajak BUMN menaruh orang di lembaga penelitian ITS, bekerja sama dalam riset dan pengembangan dengan peneliti dan mahasiswa ITS, kemudian hasil risetnya bisa langsung diserap oleh industri BUMN,” kata Ketut.
Melalui sesi diskusi tersebut, para direksi dan komisaris BUMN diharapkan bisa lebih terbuka pemikirannya. Perusahaan BUMN bisa menjabarkan kelemahan sistem supply chain yang mereka miliki di industri masing-masing dan di sisi mana ITS bisa menambal kelemahan tersebut. “Setelah mereka ikut kuliah, mereka timbul hipotesa, dan untuk membuktikan hipotesa yang butuh kajian, ITS bisa membantu dengan fasilitas penelitian di ITS,” kata Ketut.