REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan perlunya Indonesia melakukan penyerdehanaan atau redenominasi mata uang rupiah. Ia menyebutkan, pada dasarnya mata uang menjadi cerminan kepercayaan diri ekonomi suatu bangsa. Bila fondasi ekonomi Indonesia bisa terjaga dengan baik, Sri melanjutkan, maka penyederhanaan mata uang rupiah menjadi simbol kekuatan ekonomi Indonesia.
"Kalau dilihat ekonomi kemampuan Indonesia, confidence terhadap ekonomi Indonesia kalau fondasinya terus dijaga dengan baik, mata uang itu merefleksikan kekuatan dari ekonomi itu," ujar Sri, di Jakarta, Senin (19/12).
Meski begitu, Sri menambahkan bahwa masa transisi dari penyederhanaan mata uang rupiah membutuhkan waktu paling tidak tujuh tahun. Belum lagi, Bank Indonesia harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk mengajukan pembahasan kepada parlemen terkait rencana redenominasi ini. Sri menyebutkan, untuk tahun depan belum ada rencana pasti untuk melakukan pembahasan tentang redemoninasi dengan DPR.
Ia mengakui dibutuhkan kehati-hatian ekstra bagi suatu negara untuk melakukan redeminasi mata uang. Turki sebelumnya pernah melakukan redenominasi. Senasib dengan rupiah, kata Sri, saat itu Turki juga memiliki mata uang lira yang angka nol-nya cukup banyak. "Kalau Indonesia, ini karena krisis 1997-1998 terus berlanjut, ini kenapa nol kita banyak," katanya.
Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan penyerderhanaan mata uang tidak sesederhana yang dibayangkan. Paling tidak, pemberlakukan kebijakan ini menyaratkan laju inflasi rendah dan stabil di level 3 hingga 4 persen selama lima tahun berturut-turut. Artinya, bila selama dua tahun ini inflasi terjaga di angka 3,0 persen, maka perlu melihat sampai tiga tahun lagi untuk memastikan inflasi tetap stabil. "Kalau bisa stabil, bisa redenominasi," ujarnya.
Selain itu, Lana menyebut bahwa pemerintah harus mewaspadai berbagai kebijakan pada 2017 yang berpotensi memunculkan lonjakan inflasi seperti kenaikan tarif dasar listrik (TDL), kenaikan bahan bakar minyak (BBM), dan fluktuasi harga pangan.
"Lalu harus ada suplainya. Harus ada ketersediaan. Kalau nggak tersedia uang kecil, inflasi bisa naik. Kalau nggak ada uang kecil di masyarakat akan menimbulkan inflasi. Makanya butuh stabil dulu inflasinya," ujar dia.
Baca juga: BI Nilai Situasi Ekonomi 2017 Kondusif untuk Redenominasi Rupiah