Kamis 15 Dec 2016 23:37 WIB

Sigaret Kretek Tangan Mulai Ditinggalkan Konsumen

Rep: Wisnu Aji Prasetiyo/ Red: Citra Listya Rini
Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).
Foto: ANTARA
Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren Sigaret Kretek Tangan (SKT) saat ini mulai ditinggalkan oleh para konsumen. Hal itu terlihat dari realisasi penerimaan cukai 2016.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Willem Petrus Riwu mengatakan akibat hal tersebut membuat dampak pada penutupan beberapa pabrik di daerah. Ia mengakui perjuangan untuk menyelamatkan pabrikan SKT memang memiliki berbagai hambatan, terutama dengan masih banyaknya perbedaan persepsi di dalam masyarakat dan pemerintahan.

"Kalau ingin menyelamatkan industri ini, sudah jelas harus menyerap banyak SDM, baik dari pemerintah, DPR dan LSM juga harus duduk bersama," kata Willem dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/12).

Selain itu, kata Willem, banyak anak bangsa yang menggantungkan nasibnya di industri SKT. "Kalau tidak bekerja dan duduk bersama akan sulit," ujar Willem.

Penyebab yang sama pun disampaikan oleh Anggota DPR Komisi XI Muhammad Misbakhun. Misbakhun menilai permasalahan SKT cukup kompleks. Dari segi cukai, kata dia, nilai yang dibebankan untuk SKT cukup tinggi hingga membuat beban industri lebih berat.

"Di samping itu industri SKT pun padat karya karena produk yang dihasilkan adalah kretek. Belum lagi faktanya konsumsi kretek itu kurang diminati oleh perokok pemula," kata Misbakhun.

Wakil Ketua Fraksi PDIP di DPR Hendrawan Supratikno menambahkan, untuk menyelamatkan SKT perlu dilihat dari beban cukai dan pajaknya.  "Pemerintah harus melihat itu untuk keberlangsungan SKT," katanya.

Sebelumnya, data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan, hingga bulan November 2016 realisasi pendapatan cukai rokok baru menyentuh 64 persen atau sekitar Rp91,4 triliun. Dari nilai itu, Sigeret Kretek Mesin (SKM) menyumbang sekitar 80 persen dan masing-masing 10 persen dari SKT dan SPM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement