Jumat 16 Dec 2016 05:02 WIB

Jokowi Dinilai Belum Wujudkan Nawacita di Bidang Ekonomi

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Budi Raharjo
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi pada 2017. Sampai triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi nasional baru mencapai 5,02 persen dengan prediksi sampai akhir tahun mencapai 5,037 persen.

Hal ini masih di bawah target pertumbuhan yang ditetapkan 5,2 persen dalam APBNP 2016. Hal ini menandakan bahwa pada 2016, pertumbuhan ekonomi nasional masih stagnan. Dengan kata lain pemerintah dinilai belum bekerja secara efektif dalam mengawal perekonomian nasional.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mau hanya berpatok pada angka-angka pertumbuhan lalu abai pada dampaknya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu catatan tentang kualitas pertumbuhan bagi kesejahteraan rakyat dan penurunan kemiskinan sangat penting untuk dicermati dan didalami.

Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan pertumbuhan ekonomi rendah dalam menyerap tenaga kerja karena banyak ditopang oleh sektor jasa yang minim penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja bukan lagi bersumber dari sektor manufaktur dan sektor pertanian yang kaya akan padat karya. Akibatnya dampak pada penurunan angka kemiskinan juga tidak signifikan.

Tiga lapangan usaha yang mencatat pertumbuhan tertinggi dan mendorong pertumbuhan ekonomi selama dua tahun terakhir bukanlah lapangan usaha padat karya. Lapangan usaha yang tidak pada karya tersebut adalah sektor Informasi dan komunikasi (9,2 persen), jasa keuangan dan asuransi (8,83 persen) dan transportasi-pergudangan (8,2 persen).

Struktur perekonomian nasional pun dinilai masih bertumpu pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga, sehingga sangat rentah terhadap gejolak inflasi. "Pemerintah boleh berbangga, saat inflasi umum cukup rendah. Namun, pemerintah perlu memperbaiki pergerakan inflasi harga barang-barang bergejolak yang jauh di atas inflasi umum," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.

Kelompok utama penyumbang inflasi tersebut adalah kelompok bahan makanan. Pemerintah dinilai seharusnya sudah memiliki jurus-jurus jitu untuk mengelola inflasi dari sisi penawaran karena inflasi ini telah terjadi sejak lama.

Dia menyebut prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,037 persen terjadi penurunan pengangguran terbuka dari 7,56 juta orang (6,18 persen) menjadi 7,02 juta orang (5,5 persen). Dengan demikian elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 107.206 tenaga kerja.

Elastisitas tersebut terus menurun bila dibandingkan dengan elastisitas tahun-tahun sebelumnya, pada 2014 elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 260 ribu tenaga kerja, bahkan pada 2004 setiap 1 persen pertumbuhan menyerap 400 ribu tenaga kerja.

"Hasil ini masih jauh dari janji Nawacita Presiden saat kampanye yang menargetkan terciptanya lapangan kerja untuk 2 juta orang pertahun sehingga totalnya adalah 10 juta orang selama 5 tahun pemerintahan," ujar Jazuli.

Padahal, kata dia, janji ini sangat penting direalisasikan untuk peningkatan kesejahteraan sekaligus penurunan kemiskinan. Dia mengatakan investasi besar-besaran di sektor infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah dalam dua tahun terakhir tidak mampu menyerap tenaga kerja besar dan sekaligus menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.

"Empat belas paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan pemerintah nyatanya juga belum efektif mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik, salah satunya terkait implementasi paket-paket tersebut di daerah sejalan dengan kondisi daerah," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement