REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, keputusan Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps justru membuka peluang bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor di tahun depan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito menyebutkan, meski di satu sisi kenaikan Fed Fund Rate (FRR) akan ikut menekan nilai tukar rupiah, tetapi pemerintah harus melihat bahwa ekspor Indonesia harus ditingkatkan. Menurutnya, dengan nilai tukar dolar AS yang menguat dibanding rupiah, maka harga komoditas asal Indonesia seharusnya bisa membanjiri pasar dengan harganya yang kompetitif. Tak hanya itu, sepanjang kuartal terakhir tahun ini harga komoditas juga sudah mulai merangkak naik memberikan kesempatan bagi eksportir Indonesia kembali bernafas.
"Pasti rupiah akan melemah dulu terhadap dolar AS, itu yang pertama. Tapi kalau rupiah melemah, kesempatan barang ekspor kita tambah gampang dijual di luar megeri akan membuat rupiah melemah tapi ekspor menguat," ujar Sasmito, di Jakarta, Kamis (15/12).
Selain itu, Sasmito mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah di tahun depan tidak akan terjadi terlalu dalam. Alasannya, bila diantisipasi dengan matang dari sisi kinerja perdagangan, maka nilai tukar akan mampu menguat kembali. Kuncinya, kata Sasmito, tetap pada mekanisme permintaan dan pasokan di pasar. "Saya kira karena ekspor cukup bagus, pelemahan sekarang tidak dalam. Hanya antisipasi sesaat saja. Hanya indikasi agar ke depan bagus saya kira aman. Tidak usah khawatir. Demand terhadap barang naik, harga turun tapi volume baik," ujar dia.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, keputusan Federal Reserve atau The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin merupakan keputusan yang telah dikomunikasikan secara jelas sepanjang tahun ini. Komunikasi yang dilakukan The Fed membuat pemerintah Indonesia sudah jauh-jauh hari mengantisipasi langkah ekonomi AS ini.
Bahkan sebelum akhirnya The Fed memutuskan kenaikan suku bunganya yang pertama kali dalam tahun ini, Indonesia diyakini "tahan goncangan" setelah berkali-kali Bank Sentral tersebut mendengungkan wacana kenaikan suku bunga sejak 2013. The Fed juga berencana menaikkan suku bunganya hingga tiga kali pada 2017 mendatang.
Indonesia, kata Sri, diyakini merupakan emerging market atau pasar berkembang yang cukup besar. Bahkan, menurutnya, dibanding Indonesia posisi dan stabilitas ekonomi Indonesia masih terbilang kuat. Sri menjelaskan bahwa keyakinan ini berasal dari sisi pertumbuhan yang cukup tinggi dan angka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbilang rendah dan dijaga di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).