Kamis 15 Dec 2016 20:18 WIB

Surplus Neraca Perdagangan Diproyeksi Bertahan Tahun Depan

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Ekspor Impor (ilustrasi)
Foto: Republika
Ekspor Impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren surplus neraca perdagangan Indonesia yang berlangsung sejak awal 2016 dinilai terdorong oleh perbaikan harga komoditas ekspor strategis seperti batu bara, minyak kelapa sawit (CPO), dan karet. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyebutkan bahwa kinerja perdagangan Indonesia yang positif hingga akhir tahun ini merupakan seuatu yang polanya memang sudah terlihat.

Dengan merangkaknya harga komoditas ini, Eko meyakini bahwa kinerja perdagangan akan melanjutkan surplusnya hingga tahun depan. "Kalau tahun depan ya, karena sebetulnya lebih menurut saya tren yang membaik karena lebih karena harga komoditas sedang membaik. Namun saya melihat trennya ya tahun depan, surplus ini berlanjut," ujar Eko, Kamis (15/12).

Meski demikian, Eko mengingatkan pemerintah bahwa kinerja perdagangan Indonesia tidak bisa lepas dari proyeksi kenaikan harga minyak dunia pada 2017. Apalagi dengan keputusan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk menekan produksi maka fenomena kenaikan harga minyak dunia semakin nyata. Indonesia, yang berstatus sebagai importir, dinilai akan ikut menanggung kenaikan harga minyak dunia. Hal ini lantaran kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri masih dipenuhi dengan impor minyak mentah dan BBM.

Eko mengatakan, dengan kenaikan harga minyak dunia dan tanggungan Indonesia yang harus merogoh kantong lebih dalam untuk memenuhi impor, maka kinerja ekspor yang naik secara "biasa-biasa saja" di tahun depan tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Solusinya, pemerintah harus menggenjot ekspor khususnya komoditas yang harganya sedang melesat di tahun depan. Selain itu, pasar ekspor harus dicari lagi terutama negara-negara yang sebelumnya belum bermitra dagang dengan Indonesia.

"Ekspor dimanfaatkan? Iya dari sisi ekspor komoditas harus lebih intensif. Mana saja sumbatan untuk ekspor komoditas ini. Kan sudah banyak negara-negara yang membutuhkan komoditas kita kan," katanya.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pada kuartal keempat tahun 2016 ini harga komoditas memang menunjukkan pertumbuhan positif. Meski begitu, Sri mengaku bahwa pemerintah masih perlu melihat lebih jeli apakah dari segi volume komoditas sudah mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan secara volume artinya Indonesia bisa memanfaatkan merangkaknya harga komoditas belakangan ini.

"Tapi memang kita lihat bahwa dalam bulan terakhir ini ekpor kita sudah flat dari sebelumnya negatif dan bahkan beberapa kegiatan di sektor pertambangan sudah mencetak positif growth, jadi itu bagus," ujar Sri.

Sri menambahkan, pemerintah masih akan terus memonitor perkembangan kinerja perdagangan ke depan terlebih setelah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) mulai berjalan. Di satu sisi, perbaikan harga komoditas dinilai memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan. Namun, Sri menyebut bahwa pemerintah tetap mengamati pertumbuhan ekonomi AS tahun depan yang bisa tembus 2 persen. Terlebih, adanya aliran modal masuk yang bakal lebih kencang ke Negeri Paman Sam di tahun depan.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa neraca perdagangan pada November tahun ini mengalami surplus sebesar 837,8 juta dolar AS. Sedangkan secara kumulatif sejak Januari hingga November ini, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus sebesar 7,79 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement