Kamis 15 Dec 2016 08:43 WIB

Pelaku Industri Nilai Penghapusan PPN Komoditas Strategis Tebang Pilih

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nidia Zuraya
Biji Kopi (Ilustrasi)
Foto: Flickliver.com
Biji Kopi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ‎Sejumlah asosiasi industri yang berkecimpung dalam komoditas yakni, kopi, teh, karet, dan kakao menyebut bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No 81/2015 mengenai putusan mahkamah agung (MA) dalam mencabut pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk hasil pertanian yang bersifat strategis tebang pilih. 

Sebab hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan justru masih kenai PPN 10 persen. Sementara komoditas lain yang dibebaskan dari pajak ini adalah kegiatan usaha‎ di bidang Peternakan, Perburuan, Penangkapan, maupun Penangkaran. Selain itu, hasil perikanan baik dari penangkapan atau budidaya pun terlepas dari PPN tersebut.

Anggota Dewan Teh Indonesia Teguh mengatakan, sejak diberlakukan pada 2015, pengenaan PPN ini sangat berdampak besar pada industri yang bersangkutan. Bukan hanya pemiliki perusahaan, tetapi juga petani yang selama ini menunjang inudstri tersebut. 

Para pedagang, pengepul, pedagang lokal, hingga eksportir yang akan dikenai PPN 10 persen oleh Pemerintah, akan menekankan PPN ini juga terhadap para petani. Artinya nilai jual produk tersebut turun seiring pengenaan pajak tersebut.

"Banyak korban sudah berjatuhan. Teh ini sangat penting, tapi kami juga sulit. Petani juga mengalami kesulitan," kata Rahmat dalam forum group discussion (FGD) di kantor Kadin, Rabu (14/12).

‎Menurutnya, Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki banyak komoditas dari pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Namun, tingginya produk komoditas ini belum bisa termaksimalkan untuk menunjang pendapatan dalam negeri. Alhasil produk-produk dari komoditas ini mulai tersaingi negara-negara tetangga seperti Filipian dan Vietnam.

Pengenaan PPN 10 persen untuk komoditas akan memberikan dampak besar bagi para petani. Pelaku usaha yang harus menutup biaya operasional termasuk pajak tersebut, sudah tentu mencari jalan agar keuangan mereka tetap stabil. Salah satu cara yang diambil adalah menurunkan harga di sektor petani, sehingga harga komoditas bisa bersaing dengan negara lain.

Hal serupa diungkapkan Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo. Dia menuturkan bahwa PPN 10 persen yang dibayarkan sejatinya tidak akan menjadi penerimaan negara, karena uang ini harus dikembalikan ke pelaku usaha dalam kurun waktu satu tahun.

Meski demikian, pajak ini tetap menyusahkan pengusaha karena harus menyiapkan anggaran lebih menutupi pajak ini. "Nah ini yang bahaya, ketika kita digencet Pemerintah, kita gencet lagi petani," paparnya.

Mengingat sebagian besar komoditi primer perkebunan dan hasil olahannya dipersiapkan untuk ekspor, maka pengenaan PPN 10 persen seharusnya bisa dihilangkan. Sebab, PPN ini telah terbukti memberatkan petani, pedagang, eksportir, dan industri pengolahan yang pada gilirannya menggerus daya saing industri secara keseluruhan.

"Kami meminta ahar barang komoditas ini bisa diberikan fasilitas 'PPN Tidak Dipungut'. Di mana dengan pemberian fasilitas ini pajak masukan atas penyerahan barang kena pajak dapat dikreditkan," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement